Sabtu, 16 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 12 )


TIGA LANSIA DITRAKTIR MAKAN “SEGO BEBEK”...

(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)

 Makan 'sego bebek'  di resto "JOJO" Bondowoso

-Bagian Keduabelas-

Ditraktir makan malah bingung....

     Keluar dari Toko “Madu Jaya” dengan mbrengkut (penuh bawaan), kami bertiga langsung mau berpamitan. Sambil pasang muka malu-malu gituuu.... Soalnya semuanya sungguh diluar ekspektasi. Semula saya hanya iseng menanggapi tawaran rekan pesbuker dari kota yang belum pernah kita kunjungi (kecuali Pakde  yang memang ‘mbrojol’ disini). Tak pernah menyangka sambutannya sangat ruaar biasa....

     Hari semakin malam. Kumandang adzan isya sudah lama berlalu. Sambil menata kotak-kotak berisi tape hadiah dari bu Bambang didalam kijang Pakde Bagio,  kami bersiap pamitan kepada sang sahibul bait. Bapak dan ibu Bambang ‘Bond’.
“Tidak bisa. Baru boleh pulang sesudah makan malam” Bos Bond langsung berujar. Setengah perintah malah.
Waduh maaf pak, kami sudah makan tadi” kata saya basa basi. Nyatanya kan kita berempat memang sudah makan, tadi siang.
“Lagi pula kan bapak dan ibu harus persiapan untuk pergi ke mBandung” isteri saya ikut nimbrung.
“Betuuuul” serentak, Pakde, Pak Nur dan saya koor berbarengan saur manuk.
“Tidak bisa. Kita cari makan malam dulu. Sesudah itu silakan mau kemana saja. Saya sih pergi ke Bandungnya baru nanti tengah malam” Bos Bond menegaskan. Begini nih kalau berhadapan dengan ‘Juragan’. 

     Terus terang memang sebenarnya perut sudah lapar juga. Makan di warung Garahan tadi siang  persis pada saat adzan dhuhur. Sudah lebih dari tujuh jam. Tapi masa’ sudah disangoni oleh-oleh masih mau ditraktir makan juga? Nanti disangka mumpung. Sekali lagi malu dong. Meski desakan perut mau juga sih. Jadi akhirnya manut juga. Mungkin  ini yang disebut “malu tapi mau”. Semoga tidak jadi “malu-maluin” (memalukan). Maklum ketiga lansia ini termasuk ukuran sedang semego-semego nya (senang makan).

      Bos Bond mengarahkan mobil menuju jalan Panglima Besar Sudirman. Salah satu jalan yang jadi urat nadi perekonomian di Bondowoso. Malam itu masih ramai dengan lalu lalang kendaraan dan manusia. Sepanjang jalan berderet toko dan rumah makan. Mobil berhenti didepan sebuah rumah makan. Plang namanya bertulisan: Rumah Makan “JOJO”, dibawahnya: sedia iga bakar dan sego bebek. Saya sih ijo kalau melihat menu iga bakar. Jakun saya sudah main naik turun saja membayangkannya. Saya lirik Pakde Bagio agak masam mukanya. Pasti karena tidak terlihat ada tulisan “nasi goreng” disitu. Apalagi beliau seperti alergi dengan  kata “bebek”. Harap maklum, putra sulungnya juragan bebek. Jadi pasti sangat bosan dengan hewan kwek kwek kwek yang suka cuek itu.

      Pak Bambang dan ibu disambut seperti tamu istimewa yang sudah kenal lama. Rupanya ini rumah makan langganan beliau juga. Dikota kecil seperti Bondowoso ini, Pejabat Tinggi Kabupaten nyaris dikenal oleh setiap orang. Bahkan tukang parkir mobil didepan rumah makan tadi menyapa beliau dengan grapyak (ramah)nya.
“Sego bebeknya huenaak tenan lho pak” ibu Bambang berpromosi, sambil mencari tempat duduk.
“Tapi kalau pak Bambang sih menunya pasti tetap sama, nasi iga bakar” lanjutnya.
Sudah lama saya punya prinsip, kalau ditraktir makan lihatlah apa yang dipesan oleh sang penraktir. Terutama kalau ditraktir di resto langganannya. Yang selalu dipesan berarti makanan kesukaannya. Dan (biasanya) pasti enak, kalau tidak enak, namanya “kecelakaan”.  Jadi sewaktu pak Bambang memesan nasi iga bakar, saya langsung idem dito (sama saja).

     Bu Bambang ternyata juga kekeuh pendiriannya. Menunya tetap ‘sego bebek’. Saya tertawa didalam hati. Menurut penafsiran ‘nakal’ saya, sego alias nasi bebek itu adalah makanan untuk bebek. Itu artinya dedak (bekatul) dan kawan kawannya.  Ternyata maksudnya hidangan berupa nasi dengan lauk iwak peyek eh, kliru, iwak bebek. Mau dibakar atau digoreng terserah selera. Bebek yang di kremes juga ada.

     Tinggal tiga orang lagi (Pakde Bagio, Pak Nur dan isteri saya) yang seperti wong bingung. Lha wong ditraktir koq malah bingung. Apalagi kalau harus bayar sendiri! Pakde semula pesan nasi goreng. Sayang tidak tersedia. Pakde jadi terlihat seperti orang kuciwa (lagi). Lain hal dengan Pak Nur yang sedang memelototi daftar menu.  Wajahnya super serius, seperti orang membaca tagihan kartu kredit. Pusing kaleee. Kalau saya sudah hafal apa yang mau dipilih isteri. Pokoknya menu yang banyak sayurnya. Soalnya menyangkut ‘urusan kebelakang’. Tebakan saya tepat. Isteri saya memilih nasi cah ayam. Selalu ditambah dengan pesan khusus: “Sayurnya yang banyak ya?”.  

      Akhirnya urusan pesan menu selesai juga. Hampir setengah jam sendiri. Bayangkan repotnya. Saking bingungnya, Pak Nur memilih menu yang dipesan isteri saya. Pakde Bagio tadinya memilih menu nasi timbel. Tapi pakai embel-embel:”yang goreng ada gak?” Mana ada nasi timbel goreng? Cem-macem saja sampiyan Pakde. Setengah frustasi, Pakde memilih menu nasi cap cay. Itupun setelah dibujuk-bujuk oleh Pak Nur.

      Yang muncul dimeja pertama kali adalah nasi iga bakar. Dua porsi sekaligus. Untuk Pak Bambang dan saya. Menu spesialisasi biasanya sudah ready to serve (siap disajikan). So pasti cepat. Tampilannya sungguh menggoda iman dan hasrat. Menyusul kemudian sego bebek pesanan bu Bambang. Pesanan berikut agak lama keluarnya. Jadi terpaksa yang sudah keluar menunya minta ijin mendahului makan. 


“Tukang Sulap” yang lihai bercerita

      Sambil makan Pak Bambang alias Bos Bond, bercerita ngalor ngidul. Beliau seorang pendongeng yang super ciamik (bagus). Walau kisahnya kesana kemari, tapi alur ceritanya runtut. Apalagi banyak humornya. Tak urung semua tergelak. Sambil makan sambil cekakakan. Untung tidak ada yang  keselek. Pak Bambang pun berkisah tentang riwayat penugasannya yang sampai ke tanah seberang. Juga tentang saudara kembarnya yang meninggal ketika masih kecil. Yang surprise adalah, beliau ternyata seorang “tukang sulap” juga. Siapa sangka? Saya sebut tukang sulap,  sebab seperti pengakuannya sendiri, beliau hanya manggung dilingkungan terbatas saja. Jadi mana mungkin disebut sebagai magician atau ilusionis? Sori Bos!

     Tapi, nanti dulu. Kita bertiga yang menunya lebih dulu disajikan sudah hampir habis separuh. Lalu mana pesanan yang lain? Sesaat setelah ditanyakan baru nasi cah ayam nongol. Dua porsi, untuk Pak Nur dan isteri saya. Lhaaaah, mana pesanan Pakde Bagio?
Sabaaaar....” ini kata Pakde sendiri sambil wajahnya menyiratkan nada melow. 
“Yang sabar pasti tidak mbayar..” saya nyeletuk berkomentar. Semua tertawa lebar.

      Saya sudah nyaris meludeskan porsi iga bakar yang jooos merkotos itu, ketika pesanan untuk Pakde Bagio (akhirnya) dihidangkan. Yaaa ampyaaang.....jebulnya koq ya cuma nasi yang di ublak (campur) bersama cap cay. Penampilannya sih tidak kalah menor dan menggugah nafsu (makan). Pakde makan tanpa semangat juang sama sekali. Seingat saya isi piringnya tidak sampai habis dilahap. Padahal sudah saya ingatkan, kalau makannya tidak habis nanti ayam dan bebeknya mati semua. Itu nasehat simbah jaman doeloe lhoo.
Wis ben, ayam sama bebek bukan punya saya weee....” jawab Pakde cuek bebek.
Teganyaaaaa......kan mas Didit, putra sulungnya sendiri yang punya peternakan?



bersambung.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar