TIGA LANSIA DITRAKTIR MAKAN “SEGO BEBEK”...
(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)
Makan 'sego bebek' di resto "JOJO" Bondowoso
-Bagian
Keduabelas-
Ditraktir
makan malah bingung....
Keluar dari Toko “Madu Jaya” dengan mbrengkut (penuh bawaan), kami bertiga
langsung mau berpamitan. Sambil pasang muka malu-malu
gituuu.... Soalnya semuanya sungguh diluar ekspektasi. Semula saya hanya
iseng menanggapi tawaran rekan pesbuker dari kota yang belum pernah kita kunjungi
(kecuali Pakde yang memang ‘mbrojol’ disini). Tak pernah menyangka
sambutannya sangat ruaar biasa....
Hari semakin malam. Kumandang adzan isya
sudah lama berlalu. Sambil menata kotak-kotak berisi tape hadiah dari bu
Bambang didalam kijang Pakde Bagio, kami
bersiap pamitan kepada sang sahibul bait.
Bapak dan ibu Bambang ‘Bond’.
“Tidak
bisa. Baru boleh pulang sesudah makan malam” Bos Bond langsung berujar.
Setengah perintah malah.
“Waduh maaf pak, kami sudah makan tadi”
kata saya basa basi. Nyatanya kan kita
berempat memang sudah makan, tadi siang.
“Lagi
pula kan bapak dan ibu harus
persiapan untuk pergi ke mBandung”
isteri saya ikut nimbrung.
“Betuuuul”
serentak, Pakde, Pak Nur dan saya koor berbarengan
saur manuk.
“Tidak
bisa. Kita cari makan malam dulu. Sesudah itu silakan mau kemana saja. Saya sih pergi ke Bandungnya baru nanti
tengah malam” Bos Bond menegaskan. Begini nih
kalau berhadapan dengan ‘Juragan’.
Terus terang memang sebenarnya perut sudah
lapar juga. Makan di warung Garahan tadi siang persis pada saat adzan dhuhur. Sudah lebih
dari tujuh jam. Tapi masa’ sudah disangoni oleh-oleh masih mau ditraktir makan
juga? Nanti disangka mumpung. Sekali
lagi malu dong. Meski desakan perut
mau juga sih. Jadi akhirnya manut juga. Mungkin ini yang disebut “malu tapi mau”. Semoga
tidak jadi “malu-maluin” (memalukan).
Maklum ketiga lansia ini termasuk ukuran sedang semego-semego nya (senang
makan).
Bos Bond mengarahkan mobil menuju jalan
Panglima Besar Sudirman. Salah satu jalan yang jadi urat nadi perekonomian di
Bondowoso. Malam itu masih ramai dengan lalu lalang kendaraan dan manusia.
Sepanjang jalan berderet toko dan rumah makan. Mobil berhenti didepan sebuah
rumah makan. Plang namanya
bertulisan: Rumah Makan “JOJO”, dibawahnya: sedia iga bakar dan sego bebek. Saya sih ijo kalau melihat menu iga bakar. Jakun saya sudah main naik turun saja membayangkannya. Saya lirik
Pakde Bagio agak masam mukanya. Pasti karena tidak terlihat ada tulisan “nasi
goreng” disitu. Apalagi beliau seperti alergi dengan kata “bebek”. Harap maklum, putra sulungnya
juragan bebek. Jadi pasti sangat bosan dengan hewan kwek kwek kwek yang suka cuek
itu.
Pak Bambang dan ibu disambut seperti tamu
istimewa yang sudah kenal lama. Rupanya ini rumah makan langganan beliau juga. Dikota
kecil seperti Bondowoso ini, Pejabat Tinggi Kabupaten nyaris dikenal oleh
setiap orang. Bahkan tukang parkir mobil didepan rumah makan tadi menyapa
beliau dengan grapyak (ramah)nya.
“Sego
bebeknya huenaak tenan lho pak” ibu
Bambang berpromosi, sambil mencari tempat duduk.
“Tapi
kalau pak Bambang sih menunya pasti
tetap sama, nasi iga bakar” lanjutnya.
Sudah
lama saya punya prinsip, kalau ditraktir makan lihatlah apa yang dipesan oleh
sang penraktir. Terutama kalau ditraktir di resto langganannya. Yang selalu
dipesan berarti makanan kesukaannya. Dan (biasanya) pasti enak, kalau tidak
enak, namanya “kecelakaan”. Jadi sewaktu
pak Bambang memesan nasi iga bakar, saya langsung idem dito (sama saja).
Bu Bambang ternyata juga kekeuh pendiriannya. Menunya tetap ‘sego bebek’. Saya tertawa didalam hati.
Menurut penafsiran ‘nakal’ saya, sego alias
nasi bebek itu adalah makanan untuk bebek. Itu artinya dedak (bekatul) dan kawan kawannya.
Ternyata maksudnya hidangan berupa nasi dengan lauk iwak peyek eh, kliru, iwak bebek. Mau dibakar atau digoreng
terserah selera. Bebek yang di kremes
juga ada.
Tinggal tiga orang lagi (Pakde Bagio, Pak
Nur dan isteri saya) yang seperti wong
bingung. Lha wong ditraktir koq malah bingung. Apalagi kalau harus
bayar sendiri! Pakde semula pesan nasi goreng. Sayang tidak tersedia. Pakde
jadi terlihat seperti orang kuciwa
(lagi). Lain hal dengan Pak Nur yang sedang memelototi daftar menu. Wajahnya super serius, seperti orang membaca
tagihan kartu kredit. Pusing kaleee. Kalau
saya sudah hafal apa yang mau dipilih isteri. Pokoknya menu yang banyak
sayurnya. Soalnya menyangkut ‘urusan kebelakang’. Tebakan saya tepat. Isteri
saya memilih nasi cah ayam. Selalu
ditambah dengan pesan khusus: “Sayurnya
yang banyak ya?”.
Akhirnya urusan pesan menu selesai juga.
Hampir setengah jam sendiri. Bayangkan repotnya. Saking bingungnya, Pak Nur
memilih menu yang dipesan isteri saya. Pakde Bagio tadinya memilih menu nasi timbel. Tapi pakai
embel-embel:”yang goreng ada gak?”
Mana ada nasi timbel goreng? Cem-macem
saja sampiyan Pakde. Setengah
frustasi, Pakde memilih menu nasi cap cay. Itupun setelah dibujuk-bujuk oleh Pak
Nur.
Yang muncul dimeja pertama kali adalah
nasi iga bakar. Dua porsi sekaligus. Untuk Pak Bambang dan saya. Menu
spesialisasi biasanya sudah ready to
serve (siap disajikan). So pasti
cepat. Tampilannya sungguh menggoda iman dan hasrat. Menyusul kemudian sego bebek pesanan bu Bambang. Pesanan berikut agak lama keluarnya. Jadi terpaksa
yang sudah keluar menunya minta ijin mendahului makan.
“Tukang
Sulap” yang lihai bercerita
Sambil makan Pak Bambang alias Bos Bond,
bercerita ngalor ngidul. Beliau
seorang pendongeng yang super ciamik
(bagus). Walau kisahnya kesana kemari, tapi alur ceritanya runtut. Apalagi
banyak humornya. Tak urung semua tergelak. Sambil makan sambil cekakakan. Untung tidak ada yang keselek.
Pak Bambang pun berkisah tentang riwayat penugasannya yang sampai ke tanah
seberang. Juga tentang saudara kembarnya yang meninggal ketika masih kecil. Yang
surprise adalah, beliau ternyata
seorang “tukang sulap” juga. Siapa sangka? Saya sebut tukang sulap, sebab seperti pengakuannya sendiri, beliau
hanya manggung dilingkungan terbatas
saja. Jadi mana mungkin disebut sebagai magician
atau ilusionis? Sori Bos!
Tapi, nanti dulu. Kita bertiga yang
menunya lebih dulu disajikan sudah hampir habis separuh. Lalu mana pesanan yang
lain? Sesaat setelah ditanyakan baru nasi cah ayam nongol. Dua porsi, untuk Pak Nur dan isteri saya. Lhaaaah, mana pesanan Pakde Bagio?
“Sabaaaar....” ini kata Pakde sendiri
sambil wajahnya menyiratkan nada melow.
“Yang
sabar pasti tidak mbayar..” saya nyeletuk berkomentar. Semua tertawa
lebar.
Saya sudah nyaris meludeskan porsi iga
bakar yang jooos merkotos itu, ketika
pesanan untuk Pakde Bagio (akhirnya) dihidangkan. Yaaa ampyaaang.....jebulnya koq ya cuma nasi yang di ublak (campur) bersama cap cay.
Penampilannya sih tidak kalah menor dan menggugah nafsu (makan). Pakde
makan tanpa semangat juang sama sekali. Seingat saya isi piringnya tidak sampai
habis dilahap. Padahal sudah saya ingatkan, kalau makannya tidak habis nanti
ayam dan bebeknya mati semua. Itu nasehat simbah jaman doeloe lhoo.
“Wis ben, ayam sama bebek bukan punya
saya weee....” jawab Pakde cuek bebek.
Teganyaaaaa......kan mas Didit, putra sulungnya sendiri
yang punya peternakan?
bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar