TIGA
LANSIA ‘NAKAL’ BERKELANA....
(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)
Didalam KA Sembrani, Pakde Bagio usil dibelakang
-Bagian
Kelima-
Kelimpungan
di ‘setapsiyun’
Berlagak gagah, Pakde Bagio, Pak Nur
Widodo langsung masuk kedalam setasiyun Pekalongan. Mobil Pak Seten (beserta Bu Tuti) sudah langsung berlalu. Tidak enak
kalau beliau berdua menunggu di stasiun. Pasti sudah terlalu lelah, soalnya ini
bukan hari libur. Saya sempatkan melambaikan tangan sebelum menyusul kedalam
stasiun. Setelah ada peraturan yang melarang orang masuk peron kecuali
mempunyai karcis KA, nyaris semua stasiun jadi bersih dan lengang. Tapi stasiun
Pekalongan tampaknya lebih dari itu.
Tiga lansia yang sebetulnya juga sama
capeknya, berusaha mencari sandaran di kafe. Setidaknya warung apa saja. Lhadaalaaah...ternyata didalam stasiun
tak ada satupun warung. Apalagi kafe! Terpaksa kita langsung menuju ruangan
tunggu eksekutif yang ada. Yang disebut ruang tunggu eksekutif itu adalah
sebuah kamar berukuran sekitar 5 x 6 meter. Cukup bersih dan ada alat pendingin
udara (AC) nya. Terdapat dua set tempat duduk terbuat dari stainless steel, khas ruang tunggu, letaknya agak berjauhan.
Disalah satu pojok terdapat kamar kecil. Tidak terlalu bersih. Suasananya
remang-remang saja. Tidak ada lampu neon yang menyala. AC menyemburkan angin
yang tidak terlalu dingin. Masih mending suhu sejuk di Pagilaran. Ruang tunggu
itu masih kosong blong. Waktu baru
menunjukkan sekitar pukul 8 malam. Kereta masih lama datangnya.
Gaya tidur Kumbokarno 'van' nJember
Saya mencari lubang stop kontak untuk mengisi
batere HP. Hanya ada satu dan letaknya cukup tinggi. Saya lihat Pak Nur
langsung ‘mapan’. Merasa ruangan
masih kosong, maka satu baris kursi stainless
langsung dikuasainya. Tanpa ragu sedikitpun langsung lheeep....eh tidur nding. Lansia dari nJember masih
kelimpungan. Melihat satu set kursi sudah dikuasai, maka Pakde langsung meng invasi satu set kursi diseberangnya.
Badan segede Kumbokarno itu
merebahkan diri. Saknalika bablaaaaas......kealam
mimpi. Tapi nanti duluuuu....kenapa mau tidur saja tangan direntangkan
kesamping dua-duanya? Untuk menghalangi orang lain meng intervensi tempat
duduknya? Haallaaaah!!
Kini tinggal saya sendirian kelop-kelop. Kethap-kethip menikmati
sepi sambil ngaplo. Persis seperti ‘tulup di kethek’! Bagaimana tidak?
Kalau saya ikutan tidur, terus siapa
yang menjaga barang-barang? Apalagi saya juga sedang ngecas BB. Perut rasanya
sudah lapar lagi. Edan tenan. Nasi
megono satu setengah pincuk tadi kurang nendang
rupanya. Kalau lapar sih masih
bisa ditahan. Tapi bagaimana kalau haus ikut menerjang? Saking asiknya ngobrol
sambil cekakakan, sampai lupa membawa
bekal air minum. Untuk membunuh waktu, saya abadikan saja tingkah polah dua lansia yang sedang berlayar dialam mimpi. Buat
bukti otentik, kalau nanti saya ceritakan gaya tidur masing-masing.
Waktu seperti berjalan merayap. Tapi
kerongkongan makin kering. Ada dua orang ikut masuk keruang tunggu sekarang.
Mereka mengambil sisa kursi yang tersedia. Nah
sekarang ada orang lain. Saya putuskan keluar sebentar cari air mineral plus sari jeruk buat menambah kekuatan
mata. Biar tidak mudah ngantuk.
Sewaktu masuk keruang tunggu lagi, Pak Nur ternyata sudah bangun. Sesudah masuk
kamar kecil beliau cuma bilang:
“Saya
keluar sebentar ya Pak Tony?”
“Nggih” jawab saya cekak aos (singkat) saja.
Ternyata yang dimaksud ‘sebentar’ itu
sampai hampir satu jam lebih! Trondolo
tenan. Syak wasangka segera menyergap. Pasti Pak Nur juga kelaparan lagi.
Dan sekarang mungkin sedang ri-nyari
nasi sak ketemunya. Siapa tahu?.
Pakde sih kalau sudah lelap, mbok ada macan datang juga tidak akan
bangun. Kecuali kalau mendengar suara kaleng “gerombyangan”. Kebiasaan di rumah yang rupanya jadi kebiasaan.
Untung saya bawa tablet, jadi bisa main ‘angry
bird’ sambil suh-misuh sendiri.
Menjelang pukul setengah sebelas Pak Nur
muncul. Wajahnya tampak lebih cerah. Entah habis bertemu siapa. Mungkin ada
bakul wedang yang bathuk (jidat)nya kelimis. Untuk menebus ‘guilty feeling’ nya, Pak Nur langsung nyerocos tanpa saya tanya.
“Trembelane betul, saya ngubek nyari orang jual martabak disekitar sini, hasilnya nol besar. Yang
banyak malah orang jualan nasi goreng”.
Nah ini diaaaa. Rupanya wajah cerahnya karena sudah melahap nasi goreng. Kata hati
saya. Tapi saya tak berkomentar. Kalau ‘nyari’
martabak, lha mbok semalam suntuk ya
tidak bakalan ada. Kalau beli, baruuuuu..... saya menggerutu, dalam hati juga. Mangkel aku.
Hape saya menerima pesan singkat: ”Cirebon”. Ini pasti isteri saya yang
mengirim. Wah, KA Sembrani ternyata baru sampai Cirebon. “OK, klo smp Tgl ksh tau lg” saya jawab sms nya. Diam-diam saya
merasa bersalah juga. Karena isteri saya menyusul pakai KA Sembrani, dua orang
lansia ini sekarang ikut terkena imbasnya. Kelimpungan
di stasiun Pekalongan yang ternyata kalau malam fasilitasnya minim sekali. Kasihaaaan deh looooo....
Surabaya
I’m comiiiing.........
Pakde Bagio akhirnya bangun juga. Mungkin
perutnya juga sudah mulai ‘demo’. Maklum nasi megono yang dilahap tadi cuma
satu pincuk. Itupun sambil ogah-ogahan, karena yang dibayangkan
hanya nasi goreng plus soda gumbira saja. Tapi apa daya, tangan tak sampai. Hallaaah. Tidak tahan menunggu didalam,
akhirnya tiga lansia lapar brol-ngobrol
sambil berdiri diperon. Angin malam bertiup perlahan. Stasiun masih sunyi
senyap. Tapi lampunya berpendaran. Pakde mulai mengeluarkan jurus kisah
klasiknya. Semuanya seru tapi lucu. Diperon setapsiyun
Pekalongan itulah Pakde Bagio mulai buka kartu ‘bis-habisan’. Dari soal pekerjaan sampai ‘struktur organisasi’
keluarganya yang sangat menggemparkan. Dalam kesenyapan malam itu kita bertiga
tertawa cekakakan, seolah dunia milik kita bertiga. Barangkali orang yang
melihat akan berpikir, ini koq ada
tiga orang yang kemungkinan besar patut disangka dan diduga “lupa minum obat”. Menjelang
kedatangan KA malam, banyak penumpang yang berdatangan. Stasiun Pekalongan
rupanya jadi titik tengah perhentian KA jurusan Jakarta maupun Surabaya.
Akhirnya KA Sembrani datang juga. Tapi ini
KA yang dari Surabaya menuju Jakarta! Alamak
yang datang dari Jakarta rupanya malah terlambat. Tiwas dandan. Sekitar 15 sampai 20 menit kemudian baru KA
Sembrani dari Jakarta ‘mendarat’. Itupun disepur dua. Sepur satu sudah
terlanjur diduduki KA Sembrani lawannya.
Kita bertiga agak panik. Bagaimana menyeberang ke sepur dua, sementara
sepur satu masih ada rangkaian KA nya. Ternyata ada yang memberitahu agar tidak
perlu tergesa. Karena sepur satu yang berisi rangkaian KA Sembrani jurusan
Jakarta akan diberangkatkan lebih dulu. Jadi masih menunggu lagi.
Akhirnya dapat naik juga kita setelah
sepur satu kosong. Stasiun Pekalongan belum menyediakan lantai emplasemen yang tinggi (seperti stasiun
Gambir) agar penumpang bisa naik ke gerbong dengan mudah. Masih diperlukan
bangku untuk memanjat. Repotnya kalau sudah tengah malam begini petugas kut-angkut bangku itu sudah lenyap
semua. Hoiiii Pak Kasep, eh Pak
Kepala Stasiun nding, tolong
diperhatikan soal bangku itu. Soalnya kalau penumpang perempuan pasti sangat
kesulitan. La wong kita bertiga yang
laki-laki tulen saja kerepotan. Apalagi Pakde dan Pak Nur sambil nenteng tas kresek.
Istri saya duduk di gerbong nomer dua.
Sedangkan kita bertiga dapat tempat duduk digerbong lima. Saya jadi teringat
kisah sedih berebut tempat duduk waktu berangkat dulu. Soalnya dulu juga
menyangkut gerbong nomer dua dan gerbong nomer
lima. Akankah tragedi berulang
lagi. Mbuh ra weruuuh...!!
Setelah menemukan tempat duduk yang baik
dan benar, saya ternyata malah diusir para sohib untuk segera mencari tempat duduk istri
saya digerbong nomer dua. Kebetulan saja digerbong nomer lima ada beberapa
tempat duduk kosong. Terus terang, terang terus saya agak trauma diusir oleh
penghuni yang berhak seperti saat di Cirebon dua hari lalu. Tapi dua sohib ini
tak henti menghibur dan menyemangati. Cari isteri dulu, baru balik kesini lagi.
Tidak mudah mencari seseorang disebuah
gerbong kalau semua dalam kondisi tidur njingkrung
berselimut rapat. Suhu udara digerbong dua memang sangat dingin. Mata saya jelalatan melirik kanan kiri mencari
isteri. Katanya sih dia duduk dikursi
nomer 4. Tiba-tiba mak jegagik,
sebuah kaki menjegal kaki saya. Asem
tenan. Rupanya isteri saya malah lebih dulu tahu tingkah saya. Dia melihat
dari bayangan pintu kaca didepannya. Pantesan.
Tak butuh waktu lama untuk menyeret
isteri saya ke gerbong nomer lima. Disana dua sohib menyambut dengan gaya cengengesan nya. Dasar lansia ‘nakal’.
Saya akhirnya mendapatkan dua tempat duduk kosong didepan kursi Pak Nur yang
sebelahnya juga kosong (karena saya tinggalkan). Pakde duduk diseberang Pak Nur
bersebelahan dengan laki-laki separuh
baya yang pulas tidur. Kalau nanti ternyata kursi saya ada yang punya, ya urusan belakang
lah. Yang penting diduduki dulu.
Setelah perkenalan sambil basa basi
sebentar, kita mulai ancang-ancang tidur. Tapi koq perut makin bergolak ya? Untung isteri saya dibekali roti
coklat untuk empat orang. Jadi tengah malam itu saya edarkan roti untuk....
makan sahur barangkali. Mula-mula sih pada
menolak, sambil lu-malu
geetuuu....lama-lama mau juga. Habis memang lapar beneran sih!. Sehabis makan roti, Pakde ternyata langsung lelap.
Suaranya melebihi suara lokomotip diesel yang menarik rangkaian KA Sembrani. Alamaaaak.....jaaan...kasihan amat laki-laki
yang duduk disebelahnya.
Padahal
si Amat saja kagak kasihan-kasihan amat........
bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar