AKHIR PERJUMPAAN DAN PERJALANAN .......
Nampang didepan Kampus UNEJ
(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)
-Bagian
Kelima belas (Tamat)-
Akhir kisah di ‘setapsiyun’ nJember......
Jadwal keberangkatan KA Mutiara Timur
dari Jember ke Surabaya adalah pukul 11 siang. Setelah (akhirnya) berkenan
menyikat habis sepiring nasi pecel, Pakde Bagio langsung mengajak tamunya ‘check out’ dari hotel. Sisa waktu sekitar
2 jam pagi hari ini masih akan dipergunakan untuk keliling kota melihat
pemandangan yang ada. Saya menawarkan diri untuk nyopir lagi. Pakde Bagio duduk disamping sopir sebagai ‘Ajudan’
sekaligus penunjuk jalan. Pak Nur dan isteri saya duduk berdampingan dikursi
belakang, berperan sebagai “Toean dan
Nyonyah” alias majikan.
Kebanggaan Pakde Bagio terhadap alma mater nya begitu besar. Maklum,
nyaris seluruh masa baktinya dihabiskan di kampus paling terkenal di Jember itu.
Tidak heran kalau rute pertama yang dipilihnya adalah berkeliling didalam area
kampus Universitas Negeri Jember. Pakde hafal luar kepala lokasi seluruh
fakultas yang ada dikampusnya. Bahkan sanggup bercerita tentang sejarah
berdirinya UNEJ, yang sebelumnya berbentuk Perguruan Tinggi Swasta bernama
Universitas Tawang Alun.
Pakde 'ngrumpi' dengan sobatnya.....didepan UNEJ
Tidak hanya mengenal kampus dengan baik.
Pakde Bagio ternyata juga dikenal dengan baik oleh nyaris seluruh civitas academica UNEJ. Dimana-mana Pakde
bertemu orang yang dengan hangat akan menyapanya. Bahkan ada kejadian menarik sewaktu
sedang berpotret dengan tamunya didepan
pagar halaman UNEJ. Seorang wanita muda
bersepeda motor gumrojog tanpa larapan
(datang secara tiba-tiba) meluncur mendekat sambil setengah berteriak dari
balik helmnya:
“Pakdeeee.......kemana
saja siiiih, koq lama sekali kita tak
bertemu....?”
Yang
mengherankan, walaupun sang gadis (atau janda? Hahahaha..) masih memakai helm, Pakde Bagio langsung bisa
mengenalinya dengan baik.
Disiang ndrandhang (panas terik) yang membuat peluh berleleran, keduanya asyik masyuk bercerita. Persis sepasang
merpati yang lama tak bersua. Bahkan Pakde kelihatan sampai mendekatkan
kepalanya kearah helm ‘teman dekat’nya seakan membisikkan kalimat yang orang
lain tak boleh tahu. Mirip adegan yang terjadi dikebanyakan sinetron dan film
teve. Ini baru peristiwa seru dan langka.
Dari kampus UNEJ, saya masih diminta
untuk nyopir keliling kota sebentar. Kali ini untuk menunjukkan sebuah bangunan
didekat alun-alun Jember. Dari jauh terbaca sebuah tulisan cukup besar dan
jelas: “Pintu Tobat”. Rupanya itulah penjara alias hotel prodeo. Sekarang dikenal sebagai Lembaga Pemasyarakatan.
Apakah mereka yang keluar melalui pintu itu dijamin bertobat? Wallahu ‘alam.
Masih sekitar pukul sepuluh pagi sewaktu
Kijang kencana (yang sekarang sudah jadi ‘saksi sejarah’ kiprah tiga lansia)
saya belokkan memasuki lapangan parkir stasiun Jember. Susananya masih sepi
sekali. Bahkan pintu masuk kedalam peron belum dibuka. Walaupun bentuk fisik
stasiun Jember relatif kecil dibanding stasiun Gambir, tapi ternyata
inilah stasiun terbesar di Kabupaten Jember. Disinilah pusat Daops (Daerah
Operasi) IX Jember yang meliputi kota Pasuruan sampai Banyuwangi.
Bangunannya terawat dengan baik dan
ditata cukup rapi. Meskipun saya mempunyai pengalaman kurang baik dalam hal
pelayanan, harus saya akui stasiun Jember bahkan lebih bagus dibanding dengan
stasiun Pekalongan. Semua
terlihat bersih. Dari kantin, jajaran kursi yang ada diperon sampai kamar
kecilnya. Bahkan ruang tunggu eksekutifnya sangat apik. Dihiasi sebuah TV LCD
besar, berpendingin udara dan kursi-kursi yang nyaman diduduki.
Tiga lansia yang nyaris seminggu ngerumpi bersama, pagi itu masih tampak
tertawa-tawa. Tapi canda tawanya terdengar sedikit sumbang. Ada sedikit
perasaan mengganjal yang membuat seolah ada pemberat menekan dada. Celetukan guyonan memang masih ada, tapi
atmosfer nya beraroma beda. Saya nervous sekali. Sampai harus bolak-balik kekamar kecil. Mungkin Pak Nur juga merasakan
hal yang sama. Oleh sebab itu ia terlihat menyibukkan diri dengan memotreti
dokumentasi foto-foto lama yang ada didinding ruang tunggu.
Salah tingkah saya menatap keberadaan
Pakde yang ikut duduk diruang tunggu. Padahal sebenarnya orang yang tidak punya
tiket tak diijinkan memasuki peron. Bukan Pakde kalau kalah oleh aturan. Aturan
dibuat kan untuk dilanggar, barangkali
itu prinsip nyeleneh Pakde. Saya
pikir-pikir, lelaki lansia berambut cepak
ini jangan jangan punya jimat panglipuran. Begitu gampang
berkenalan sekaligus menarik simpati orang yang baru saja dijumpainya.
Pria kelahiran Bondowoso yang mengaku trah Madura itu, juga berbakat mudah
mempengaruhi orang. Kalau tidak begitu, mana mungkin Pak Nur dan saya keplantrang-plantrang manut saja diajak Pakde pergi kemana-mana. Dari
Pagilaran sampai Garahan. Seperti kambing congek
diusap brambang dihidungnya. Nyaris patuh
pada apa saja yang dikatakannya.
Ruang Tunggu Eksekutif, Stasiun Jember
Diruang tunggu yang sejuk itu pikiran
saya terbagi dua. Pertemuan akan selalu diakhiri dengan perpisahan. Itu hukum
alam sekaligus kodrat yang tak lagi bisa dilawan. Menyesalinya pun tak akan ada
artinya. Walau sudah tahu pasti akan terjadi, tak urung ada juga terbersit
aneka rasa. Sedih, senang, haru, melow
campur aduk jadi satu. Persis rasa permen ‘anu-anu’
itu.
Angan saya nglambrang (melayang) jauuuuh sekali.
“Mas
Koes, saya punya teman yang mirip mas deh.
Priyayinya juga sudah senior, senang nulis dan suka celelekan (bercanda) juga”
Begitu
suatu ketika Jeng Kusumastuti yang jadi salah satu teman ‘dumay’
menulis di inboks akun pesbuk saya.
“Namanya
Imam Soebagio. Tapi nama pesbuknya Pakde Bagio. Beliau juga sudah pangsiyun. Tapi aktif luar biasa. Pasti
mas Koes cocok deh” Jeng Kus terus
saja berpromosi. Saya suka banyak teman. Tapi berteman di dunia maya harus
selektif. Soalnya banyak juga orang yang buka akun pesbuk untuk hal-hal yang
negatif.
Reaksi saya yang pertama adalah mencoba mengintip diam-diam akun orang
yang dipromosikan oleh Jeng Kus itu. Foto profilnya cukup meyakinkan. Pria
separuh baya memakai kacamata. Wajahnya serius tapi saya lihat ada sudut kocak nya, entah bagian apanya. Disitu
tertera keterangan sangat minim:
“Work at Pangsiunan. Studied at seadanya asal bisa
baca tulis. Lives in Jember. From Bondowoso”
Ada
beberapa mutual friends disitu. Saya
langsung merasa sreg. Bukan mau umuk ataupun nyombong, saya punya insting kuat jika melihat wajah seseorang. Itu
sebuah karunia yang saya syukuri. Karena biasanya selalu tepat, apakah saya
akan cocok atau tidak dengan orang yang saya lihat.
Saya tidak tahu persis, apakah Jeng Kus
juga ‘mempromosikan’ diri saya ke “Arek
Njember” itu. Yang jelas blog
saya seperti banyak dikunjungi tamu anonim.
Singkat kata akhirnya sayapun berteman di “dumay” dengan Pakde Bagio. Ternyata
sejarah hidupnya banyak yang mirip dengan saya. Hobinya juga. Terutama dalam
hal tulis menulis. Ada beberapa tulisan di blog
Pakde Bagio yang ‘believe it or not’, mempunyai tema yang
sangat mirip dengan tulisan saya. Padahal saya tak pernah sekalipun membaca
blog orang lain sebelumnya. Termasuk blog Pakde.
Sesudah berkenalan, hubungan menjadi
sangat intens. Status dan komen kita
saling bersahutan. Gayeng dan kocak habis. Belum pernah bertemu muka
langsung, tapi sudah akrab dan berani poyok-poyokan
(saling meledek), tanpa merasa saling tersinggung.
“Pah, mbok daftar harga makanan dikantin
itu dipotret”
Suara
isteri saya membuyarkan segala lamunan. Ada-ada saja permintaannya. Ternyata harga
yang tertera dikantin memang termasuk murah. Apalagi kalau dibandingkan dengan
harga di Jakarta. Harga seporsi nasi rawon hanya sepuluh rebu perak. nJember geetuuuu lhoooh......
Saya lirik Pakde masih duduk diruang tunggu dengan
setia. Padahal saya dan Pak Nur sudah meminta beliau untuk pulang saja. Tidak
usah menunggu sampai kita berangkat. Bukan Pakde Bagio kalau mau menurut begitu
saja. Kalau dia yang memerintah harus dituruti. Kalau diperintah? Nanti dulu.
Namanya juga kumendan.
Niat saya ngusir Pakde bukan karena apa. Saya kuatir rasa haru pada saat berpisah
nanti menjebol benteng pertahanan mata saya. Gengsi dong. Lansia setua dan segede ini koq mewek-mewek. Harak digeguyu (ditertawakan) tikus.
Ke
Jakarta aku ‘kan kembaliiiii....
Akhirnya rangkaian KA Mutiara Timur
masuk juga ke stasiun Jember. Beberapa menit sebelum pukul sebelas. Entah
mengapa rangkaian masuk disepur dua. Bergegas kita menuju ke gerbong dengan
menenteng semua logistik. Kini jumlahnya bertambah banyak. Eh, Pakde Bagio tak mau kalah, beliau ikut saja menginthili naik kedalam gerbong.
Padahal ini yang sebenarnya ingin saya hindari. Kalau sampai terjadi hujan air mata, kemana mencari ojek payungnya,
coba?
Saat yang mengaduk-aduk perasan itu
akhirnya datang juga. Mata saya pedih, tapi tak sepedih rasa dihati. Sebentar
lagi nJember akan tinggal kenangan.
Termasuk meninggalkan sosok lansia yang selama seminggu terakhir ini bak sparring partner. Dalam bercanda ataupun
berdebat. Sosok priyayi Jawa setengah Madura yang pribadinya extra ordinary.
Lonceng khas stasiun sebagai penanda
kereta api harus berangkat telah berbunyi. Sewaktu berjabat tangan dengan Pakde
Bagio, justru tak ada suara yang keluar. Mendadak kelu, lidah saya tercekat, mulut
bak tersumbat. Emosi saya terkuras habis. Mungkin ucapan terima kasih yang
keluar hanya lirih saja. Saya tahu itu tak mewakili apapun juga. Tak ada yang
bisa menggantikan budi baik Pakde Bagio selama ini.
Menuruni gerbong kereta, Pakde tidak
langsung keluar stasiun. Berdiri di peron, sosoknya yang tingi besar mengabur
dalam pandangan mata saya yang barangkali mulai berair. Makin lama makin kabur,
karena kereta sudah bergerak. Makin lama makin cepat. Masih terlihat samar
senyum ikhlas Pakde melepas kepergian kita......
Duduk didalam kereta eksekutif yang
suhunya sejuk, badan saya justru terasa meriang. Walau isteri duduk disamping
saya, siang ini saya merasa ada yang kurang. Seperti ada sesuatu yang hilang. Bukan karena Pak Nur yang
ternyata duduk berlainan gerbong, tapi karena saya kehilangan canda tawa dan
celetukan Pakde.
Selamat tinggal Pakde Bagio. Yakinlah,
kita akan bersua lagi. Entah kapan dan dimana......
Kereta belum sampai memasuki stasiun Rambipuji ketika hape saya bergetar.
Ada sms masuk:
"Slmt jln sohib. Smg slmt smp ditujuan. Maaf klo ada keslhn dlm penerimaan slm di Jember. Smp ktm lg"
Menerima sms dari Pakde Bagio, kini giliran tangan saya yang bergetar....
Kereta belum sampai memasuki stasiun Rambipuji ketika hape saya bergetar.
Ada sms masuk:
"Slmt jln sohib. Smg slmt smp ditujuan. Maaf klo ada keslhn dlm penerimaan slm di Jember. Smp ktm lg"
Menerima sms dari Pakde Bagio, kini giliran tangan saya yang bergetar....
T a m a t
Tidak ada komentar:
Posting Komentar