GOOD BYE PAGILARAN....
(KISAH
TOUR ‘WISKUL’ PESBUKERS LANSIA)
Numpang nampang dengan latar belakang Bukit Pagilaran
-Bagian
Ketiga-
Diskusi
ditengah malam......
Menjelang pukul setengah sebelas malam
acara bebas berisi gelak tawa, nyanyi dan jogedpun berakhir. Grup pesbukers
lansia kembali ke Villa Alamanda II. Meski malam semakin larut dan dingin
semakin membalut, perbincangan semakin ‘maut’. Mengambil tempat di ruang tamu,
para tamu lansia dari Jakarta ditemani tuan rumah langsung terlibat diskusi
lebih dari serius. Masing-masing tanpa tedeng aling-aling saling menumpahkan
isi hati. Barangkali terbiasa diskusi didunia maya hanya melalui pesbuk, curhat
malam ini terasa lebih intens. Saling
menanggapi dan saling memberi solusi.
Tak disangka tak dinyana bahwa pertemanan didunia maya menjadi
sedemikian erat setelah bersua muka. Bak membaca sebuah buku, maka semua sudah
saling maklum dan faham isinya. Ini suatu kondisi yang bagi saya (entah buat
yang lainnya) sangat luar biasa. Bayangkan, tiba-tiba saja semua merasa sudah
seperti saudara.
Diskusi tanpa moderator itu tampak akan
berakhir ketika satu persatu para lansia mulai menguap. Dimulai dari Pakde
Bagio yang pamit mundur lebih dahulu. Maklum kebiasaan wong nJember memang
tidur sore-sore. Lalu priyayi Tangerang yang asli Yogya juga lengser keprabon.
Tinggal saya, bu Tuti dan sepasang lansia alumnus AUP Jakarta yang ternyata
tangguh walau sudah sepuh. Taruna AUP geeetuuu
lhooooh.....
Saya memang biasa tidur larut, sekalian menunggu
saat sepertiga malam datang. Namun mengingat besok masih ada acara yang digelar
pagi sekali, maka diskusipun terpaksa dihentikan dan semua masuk kekamar. Saya
lirik jam didinding menunjukkan waktu pukul 2.30 dinihari!
Selasa,
8 Mei 2012. Suatu pagi di Pagilaran...
Usai sholat Subuh saya keluar kamar. Praktis
saya hanya tidur 2 jam saja. Ruang tamu masih sepi, maklum belum pukul 5 pagi.
Cuaca Pagilaran pun masih remang-remang. Tapi udaranya sungguh sangat segar. Atmosfer seperti inilah yang menjadikan
Pagilaran banyak dikunjungi wisatawan lokal. Sesuatu yang mustahil ditemui
dikota. Saya merenung, seandainya kota-kota besar mempunyai hutan kota yang lebih
banyak lagi. Mungkin udaranya juga akan lumayan segar. Meski tak sesegar udara
perbukitan seperti kebun teh Pagilaran ini.
Pukul 6 pagi semua sudah siap tempur dalam
balutan kaos batik seragam hadiah dari bu Tuti.
Karena sopir diijinkan pulang kerumahnya, maka pagi itu saya jadi ‘sopir
tembak’nya. Mungkin bukan karena paling muda usianya. Tampaknya semua percaya
saya pengemudi handal, itu soalnya. Mobil saya larikan menuju lapangan olah
raga didepan Gedung Pertemuan semalam. Tapi
belum tampak sebatang pun hidung para peserta Bimtek. Mungkin semua masih rapat
berselimut dikamar masing-masing. Daripada bengong menunggu, lebih baik JJP
dulu. Jalan jalan pagi diperbukitan dengan hamparan kebun teh seperti ini tidak
setiap hari bisa dinikmati.
Pagilaran memang tidak terlalu tinggi,
hanya sekitar 1.000 – 1.500 meter saja ketinggiannya dari permukaaan laut. Oleh
sebab itu suhu udaranya juga hanya sejuk, sekitar 15 – 18 derajat Celcius pada malam hari. Jadi tidak membuat
orang menggigil kedinginan. Aroma daun teh menyeruak keluar dari pabrik yang
rupanya bekerja 24 jam sehari. Segar dan menerbitkan selera minum teh yang
konon pohonnya tidak pernah disemprot pestisida itu.
Ada jalan cukup bagus yang melintasi pabrik
menuju puncak bukit Pagilaran. Itulah jalan yang sehari-hari dilewati kendaraan
yang mengangkut karyawan dan para pemetik teh. Jalan yang menanjak tidak
terlalu curam itu bisa jadi jogging track
yang lumayan bagus juga. Namun mengingat usia, para lansia memutuskan untuk
jalan santai saja sembari menikmati pemandangan indah yang ada. Bu Bidan alias
bu Dokter ternyata juga menginap dilain villa. Pagi ini beliau turut gabung
jalan-jalan pagi sambil cekakakan
sepanjang jalan.
Manajemen PT Pagilaran (dari Fakultas
Pertanian UGM) rupanya juga sadar lingkungan. Kiri kanan jalan dihiasi tanaman
bunga yang kembangnya merekah warna warni. Beberapa pohon langka dan tua
dipelihara dengan apiknya. Seperti layaknya perkebunan tinggalan penjajah
Belanda lainnya, di Pagilaran juga terdapar rumah besar ditengah-tengah kebun
teh yang dulu biasa disebut rumah “Ndoro
Sinder”.
Tepat diseberang pabrik teh terdapat
sebuah gardu listrik yang biasanya dihiasi tulisan “levens gevaar” yang selalu diterjemahkan dengan “sing ngemek mati” itu. Disinilah ide
usil Pakde Bagio, para lansia pria diminta untuk berpose dengan latar belakang
gardu listrik itu sembari....memeletkan lidahnya! Katanya biar kelihatan kalau
para bapak-bapak lansia itu disetrum sampai melet-melet
(keluar lidahnya), itu kata Pakde Bagio.
Pukul setengah tujuh pagi diputuskan untuk
kembali kelapangan olah raga. Disana tampak dua instruktur senam sedang sibuk
mempersiapkan peralatan sound system dan lain-lainnya. Tapi masih tetap belum
tampak satupun peserta yang akan ikut senam. Udara dingin rupanya bisa
mengalahkan disiplin. Terutama bagi kaum muda. Masalahnya yang lansia saja
sudah bangun semua. Bahkan sudah selesai jalan jalan pagi.
Akhirnya senam pagi dimulai dengan peserta
ala kadarnya.
“Mari
kita mulai senam. Mau dimulai dengan senam jantung sehat atau aerobik?” salah
seorang instruktur wanita yang berpakaian cukup seksi bertanya setengah
berteriak.
“Senam
aerobik sajaaaa...” terdengar jawaban lantang dari arah belakang. Itulah suara
perkasa dari Jember. Saya menggerutu dalam hati, sudah lansia begini koq maunya
senam aerobik. Mbok ya mulai dari
senam jantung dulu. Kan cocok buat
para lansia. Tapi terlambat. Sang instruktur sudah mulai memimpin senam aerobik
dan musik sudah mengalun menghentak tubuh.
Keberatan saya terbukti. Hanya mereka yang
berusia relatif muda yang sanggup bertahan mengikuti senam aerobik itu. Para
lansia sudah mulai kendor, bahkan bergerak sekedarnya saja. Asal tampak
bergerak. Yang mengejutkan adalah, ternyata Pakde Bagio malah senam sendiri,
sesuai kehendak hatinya. Bahkan kadang-kadang hanya berdiri malangkerik saja. Woooo...dasar provokator. Yang usul senam aerobik tadi ya
siapaaaa???
Sayonaraaa
Pagilaran......
Selesai senam rombongan kembali ke Villa
Alamanda. Bu Endang katut. Padahal beliau
jelas belum mandi. Sarapan dengan lauk kuluban,
opor ayam dan iwak peyek sudah
menanti. Tanpa menunggu mandi, sarapan disikat. Ruang tamu gegap gempita dengan
canda. Maklum sekarang perut sudah diisi.
Sekitar tengah hari para tamu lansia
digiring lagi menuju.....ruang makan!! Kini ke ruang makan khusus Panitia di
Villa dimana bu Endang menginap. Pakde Bagio makan dalam kondisi ‘kemrungsung’, tidak tenang. Maklum
sehabis makan beliau sudah ditunggu peserta untuk tampil sebagai pembicara
sekaligus tutor untuk “senam tawa”. Ini senam khusus yang sangat dikuasai oleh
Pakde, pantes kalau beliau selalu tertawa-tawa. Hahahahahahaha......
Siang itu sesudah perut kenyang terdengar
gelak tawa membahana. Namanya juga sesi “Senam Tawa”. Pakde Bagio dengan ‘semangat
45’ memperagakan jurus-jurus tertawanya. Beberapa peserta wanita terpingkal-pingkal,
sampai ada yang melarikan diri ke....kamar kecil, saking keterusan tertawanya.
Lalu tibalah saatnya meninggalkan
Pagilaran. Walau hanya semalam, kenangan yang terpateri ternyata membekas
begitu dalam. Saatnya rombongan pesbukers lansia harus pergi meninggalkan
Pagilaran. Tentu masing-masing dengan kenangan manisnya sendiri. Sebelum masuk
ke mobil ternyata ada bingkisan madu dari “Juragan Madu” mBanyu Putih. Masing-masing
mendapat dua botol madu. Sudah jelas yang dibotol itu bukan madu ASELI. Siapa
yang berani menerima resiko dapat bingkisan “MADU ASELI”? Minta gegeran apa? Pakde Bagio yang tinggi
besar saja pasti tidak akan berani. Sebab bisa terjadi kasus kaleng ‘grombyangan’ setiap hari.
Menjelang asar dua mobil bergerak meluncur
turun kekota Pekalongan. Meninggalkan perbukitan kebun teh Pagilaran yang
asri. Hamparan kebun teh membuat Pakde
Bagio mencari-cari, siapa tahu sang pemetik teh yang kemarin jadi model fotonya
masih ada disana. Harapan yang sia-sia, tentu saja.
Siapa sih yang mau memetik teh di siang ndrandang begini.
Da ada saja sampiyan Pakde.......
bersambung.......
hidup lansia????? tetep semangat terus pakde...........
BalasHapus