NAIK KERETA API....SALAH GERBONG
(KISAH
TOUR ‘WISKUL’ PESBUKERS LANSIA)
Para Pesbukers Lansia bertemu di peron Stasiun Gambir
-Bagian Pertama-
PROLOG:
Buka akun di “Pesbuk”.
Mark
Zuckerberg pasti bukan mahasiswa yang “sak baene” (lumrah). Mungkin malah
seorang jenius yang ‘extra ordinary’. Ditahun kedua kuliahnya di Universitas
Harvard, Amerika Serikat, dia telah berani meretas komputer milik universitas
kondang itu. Hanya untuk mengumpulkan foto dan identitas mahasiswa seluruh
Harvard. Data tersebut kemudian disebarkannya melalui dunia maya. Nyaris saja
dia dikeluarkan karena dianggap melanggar hukum. Untung ada pertimbangan lain.
Mark kemudian meluncurkan situs jejariing sosial didunia maya yang diberi nama
“Facebook”. Dioperasikan oleh ‘Facebook, Inc’ jejaring sosial yang telah
diluncurkan sejak tahun 2004 itu langsung menyebar seperti wabah keseluruh
penjuru dunia.
Menjelang ‘pangsiyun’ sekitar tahun 2007, saya memutuskan membuka akun
dijejaring sosial yang paling populer sejagad itu. Di kalangan ‘gaul’
Indonesia, Facebook sering dipelesetkan (dan lebih populer) sebagai “Pesbuk”.
Anggotanya kemudian disebut sebagai “pesbukers”. Saya membuka akun bukan untuk
gagah-gagahan. Saya merasa perlu untuk membuat semacam ‘networking’ sendiri
setelah selesai menjalankan tugas sebagai abdi negara. Menurut hemat saya, networking terbagus didunia maya waktu itu
hanya pesbuk.
Semula banyak yang mencibir dan mengolok-olok. Termasuk keluarga dan
anak-anak saya. Manusia setua saya koq masih ‘pethakilan’ bergaul seperti anak
muda. Apalagi banyak yang menganggap ‘pesbuk’ sebagai ajang yang serba negatif.
Saya bergeming. Ibarat sebatang pisau, ditangan seorang koki pisau akan berguna
untuk menciptakan hidangan yang lezat. Sebaliknya ditangan kaum penjahat, pisau
bisa berubah menjadi senjata yang mematikan. Tentu saya juga pilih-pilih teman.
Saya punya kriteria sederhana saja. Mereka yang membuka akun dengan memakai
nama asli dan berani memasang foto profil wajahnya sendiri, biasanya adalah
pesbukers yang jujur dan apa adanya. Tidak neko-neko lah. Sebaliknya banyak
yang merasa perlu pakai nama samaran, bahkan menyembunyikan wajahnya. Pesbukers
semacam ini saya anggap sebagai anggota yang patut dipertanyakan niat baiknya.
Mau berteman (walau hanya didunia maya) koq tidak mau membuka jati dirinya.
Para pesbukers sendiripun akhirnya seperti terseleksi secara alamiah.
Mereka yang bisa ‘nyambung’ ketika membuat status atau memberikan komen,
biasanya akan terus mengelompok. Tanpa diminta, tanpa dipaksa. Otomatis begitu
saja. Oleh sebab itu usia juga menjadi pertimbangan dalam menerima teman. Kalau
“theklek nang krikilan” pasti tak akan bisa klop dengan “sinom gandrung
wuyung”. Maksud saya “Wong tuwek sing isih pethakilan” (orang tua yang banyak
tingkah) tak bisa berteman dengan “Bocah enom sing seneng ubyang-ubyung” (anak
muda yang masih suka bermain kesana kemari). Walaupuin pasti juga ada
perkecualiannya. Namanya juga manusia.
Dalam waktu tak terlalu lama saya sudah punya ribuan teman. Yang
terbanyak tentu teman seusia. Tapi ternyata banyak juga anak-anak muda yang
tertarik kepada posting, link, status, komentar atau foto-foto yang saya
unggah. Akhirnya mereka juga minta berteman. Apa boleh buat, bakso kambing
bulat-bulat.
Salah seorang teman akrab saya di “dumay” (dunia maya) itu adalah
seorang wanita yang menjadi Pejabat cukup penting di Kabupaten Batang. Namanya
ibu Kusumastuti Setyaningsih. Di pesbuk dipanggil sebagai Bu Tuti atau mBak
Tut. Saya lebih suka memanggilnya dengan jeng Kus. Karena saya memang lebih
tuwir.
Undangan
dari mBatang.
Suatu hari sebuah pesan BBM dari Jeng Kus muncul diperangkat BlackBerry saya:
“Mas Koes, mohon dipersiapkan waktu
barang sehari dua hari. Saya ingin mengundang Mas Koes ke Batang untuk sebuah
acara. Pakde Bagio dan Pak Nur Widodo sudah oke. Hal2 lain menyusul”.
Saya
menjawab singkat:
”Siap
Bu Komandan! Acara apa dan dimana ini?”.
“Acara Bimtek Pengelolaan Perpustakaan
Khusus Dinas/Instansi. Tempatnya di Kebun Teh Pagilaran, Batang”.
Pagilaran?
Nah, ini dia. Pucuk dicita teh tiba.
Sudah sejak lama saya mengenal nama
Pagilaran. Sewaktu jadi Protokol (kemudian
‘naik’ jadi Ajudan) Gubernur Jawa Tengah, saya sudah keliling seluruh
daerah dan kota di Jawa Tengah. Termasuk sampai ke pelosok desa Petungkriono
didaerah Kabupaten Pekalongan. Namun belum sekalipun saya sempat singgah di
Pagilaran yang berada didaerah Kabupaten Batang.
Dikemudian hari, besan saya sering sekali
mengajak pergi keluarganya ke Pagilaran untuk berwisata. Besan saya orang asli Kudus tapi beristrikan
orang Pekalongan, yang dekat dengan kota Batang dimana kebun teh Pagilaran
berada. Saya pernah juga diajak ke Pagilaran, tapi waktunya belum pernah bisa
cocok.
Terletak diketinggian sekitar 1.000 sampai
1.500 meter dari permukaan tanah, Pagilaran adalah sebuah perkebunan teh yang mempunyai
pemandangan indah menawan. Pada tahun 1880, seorang ‘meneer’ (Bld: mijnheer, tuan)
Belanda membuka lahan perkebunan kina dan kopi di Pagilaran yang masuk wilayah Desa
Keteleng, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang. Karena hasil kebun kina dan kopi
tidak maksimal, pada tahun 1899 perkebunan
itu dibeli oleh Pemerintah kolonial Belanda dan diubah menjadi
perkebunan teh. Pada tahun 1922 perkebunan teh itu dibeli oleh Pemerintah
Inggris. Hak Guna Usaha perkebunan itu kemudian jatuh tempo pada tahun 1964 dan
dikuasai oleh Pemerintah RI. Pada tanggal 23 Mei 1964, keluar Skep Menteri PTIP
yang menyerahkan pengelolaan perkebunan teh itu kepada Fakultas Pertanian UGM. Skep
Menteri PTIP itu masih berlaku sampai sekarang. Tanggal 23 Mei kemudian
ditetapkan sebagai hari jadi PT. Pagilaran. Sejak diambil alih oleh Pemerintah
RI, Kebun Teh Pagilaran ditetapkan sebagai Perusahaan Negara (PN). Namun
kemudian pada tanggal 1 Januari 1974 diubah lagi statusnya menjadi Perseroan
Terbatas (PT).
Ke
Pagilaran karena ‘pesbuk’.
Walau sudah pangsiyun
dan menjadi golongan lansia, saya tetap aktif dalam kegiatan sosial. Salah
satunya dengan membuka akun dijejaring sosial Facebook. Terkenal dengan
julukan “Pesbuk”, ternyata anggotanya
banyak juga yang telah lanjut usia. Pertemanan di ‘Dumay’ (dunia maya) itu memang unik. Ada yang serius dan ada yang
hanya main-main saja. Bahkan ada yang tega menggunakannya untuk melakukan
tindakan kriminal. Saya sangat selektif memilih teman dumay. Yang paling sering
saya terima adalah yang usianya kira-kira nyaris sama, atau tak banyak beda
dengan usia saya. Bermacam profesi ada disitu. Tapi teman dumay saya di pesbuk
kebanyakan memang kaum lansia. Yaitu mereka yang sudah ‘uzur’ tapi masih mau ‘eksis’
mengekspresikan dirinya. Biar tua asal narsis.
Tak terduga beberapa pesbukers (anggota pesbuk) menjadi sangat akrab berteman. Meski
hanya saling menyapa didunia maya. Sayapun mempunyai teman akrab yang jumlahnya
cukup banyak. Dari bermacam usia, jenis kelamin dan profesi. Seperti yang saya
utarakan di ‘prolog’, salah satu
teman di ‘dumay’ adalah ibu
Kusumastuti Setyaningsih. Beliau salah seorang Pejabat yang masih aktif di
Kabupaten Batang. Sebagai Kepala Perpustakaan Daerah, idenya sungguh terkadang
mengejutkan. Tapi sangat positif. Terutama untuk teman-teman beliau yang boleh
dibilang “pesbukers lansia”. Entah
karena kasihan lihat pangsiyunan
menganggur, entah karena kepeduliannya yang sangat tinggi. Beliau sering mengadakan
acara ‘pul-kumpul (asal) bermanfaat’.
Yang sudah pernah diundang menghadiri
acara di Batang antara lain Pakde Bagio, dedengkot pesbuker dari Jember. Walau
sudah pangsiyun sebagai ‘jubir’ Universitas Negeri terkenal dikotanya, Pakde
tetap aktif bermasyarakat. Utamanya di perkumpulan para pensiunan PNS (wredatama)
yang disebut PWRI. Status dan komennya di pesbuk sangat menggelitik dan kocak.
Beliau katanya cuma punya satu teman, tapi teman yang satu ini punya teman lagi
yang buuuaaaanyaaaak buanget. Jadilah
Pakde punya ‘gerombolan’. Hehe persis
kayak nyamuk. Sori kumendan! Lalu ada Pak Nur Widodo dari Larangan, Cileduk, Kabupaten Tangerang. Beliau juga
sudah pernah diundang bu Tuti ke Batang. Priyayi
Yogya yang kelihatan ‘kalem’ (sak kal
gelem?) ini sangat santun. Tapi kalau keluar kumat nya, ya sama saja dengan Pakde Bagio. Bisa cekakakan seharian. Sori bos!
Awal tahun 2012 ini saya sudah menerima
pesan BBM beberapa kali dari bu Tuti (saya sendiri memanggil beliau dengan
panggilan jeng Kus), agar menyiapkan waktu (dan sangu) untuk pergi ke Batang.
Katanya ada penataran atau bimtek yang butuh dihadiri para lansia untuk
menumbuhkan motivasi peserta. Katanya Pakde Bagio dan Pak Nur sudah committed, dan siap hadir. Saya sendiri
akan diundang untuk membagi pengalaman buat para peserta. Kalau hanya membagi
pengalaman sih saya pasti mau, pakai banget lagi. Yang saya tidak bersedia
itu kalau harus membagi penghasilan. Manalah mungkiiiin....saya hanya seorang kapiten...eh pangsiyunan.
Akhirnya hari dan tanggal sudah bisa
dipastikan. Yaitu hari Senin dan Selasa, tanggal 7 dan 8 Mei 2012. Memang bukan
hari libur, alias hari kerja. Tapi mana ada pangsiyunan yang peduli pada hari
kerja? Kan semua hari sudah jadi hari
libur? Yang diperlukan sekarang hanya ‘amunisi’ nya saja. Kebetulan rapelan
gaji (dan uang pangsiyun) akan diberikan pada awal bulan Mei. Jadi tampaknya
semua beres. Tapi nanti dulu, Jeng Kus rupanya masih mencoba nambah undangan
lansia lagi. Saya usulkan nama ibu Ruminah Tursilowisanto. Beliau adalah salah
seorang pesbukers lansia yang sangat
peduli sesama. Bu Tuti alias Jeng Kus setuju dengan catatan, saya yang harus
menghubungi bu Ruminah. Segera saya kirim pesan BBM kepada Bu Rum. Jawabannya
mengejutkan, “Siap hadir kalau diijinkan datang
beserta suami”. Jeng Kus ternyata tidak keberatan, karena katanya masih
tersedia banyak kamar. Beberapa teman pesbukers yang berdomisili sekitar
Pekalongan juga saya beritahu. Sayang banyak yang tidak bersedia karena bukan
hari libur. Akhirnya saya membuat kesepakatan hanya dengan bu Rum dan Pak Nur
untuk berangkat bersama-sama naik kereta api Argo Muria jurusan Jakarta-Semarang
dan turun di “setapsiyun” Pekalongan.
Senin
pagi tanggal 7 Mei 2012.
“Empat sekawan” bertemu muka dan insiden
‘salah gerbong’....
Ternyata yang masih ‘merkengkong’ (berantakan) itu rencana
Pakde Bagio. Semula rencana beliau akan berangkat ke Pekalongan dari Bandung
dengan KA Harina jurusan Semarang. Tapi KA ini sampai dikota Pekalongan masih
sekitar jam 3 pagi dinihari. Kuatir menunggu di ‘setapsiyun’ sendirian dipagi
gelap, Pakde Bagio kemudian memutuskan untuk lewat Jakarta saja. Tiket KA Pakde
Bagio diatur oleh Pak Nur, termasuk akomodasi semalam dirumah beliau.
Sehabis sholat subuh saya langsung
berangkat. Menghindari kemacetan karena bukan hari libur. Sampai di stasiun
Gambir masih sepi. Saya celingukan,
mencoba mengenali orang-orang disekitar. Maklum namanya teman dunia maya, jadi belum pernah bertemu muka. Di
pesbuk kan hanya lihat fotonya. Ya
kalau fotonya asli, kalau palsu kan
bikin kuciwa dan mungkin susah mengenali.
Saya telepon ke hape Bu Ruminah, tidak diangkat. Lalu ke hape Pak Nur. Kali ini
Pak Nur menjawab kalau beliau dengan Pakde sedang sarapan di kafe. Saya segera nyusul ke kafe. Pakde Bagio mudah
dikenali sosoknya, karena persis dengan yang di foto profilnya. Apalagi
posturnya yang XXL itu. Sedangkan Pak Nur Widodo saya kenali karena kacamata
(baca) nya. Waktu belum menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi pak Nur sudah
menghabiskan segelas besar jus alpukat! Pakde Bagio masih asyik melahap
sepiring nasi goreng. Saya belum lapar jadi memilih menonton saja beliau berdua
menikmati sarapan ala masing-masing.
Selesai sarapan kita memutuskan mencari
Ibu Ruminah dan suaminya. Maka naiklah kita menuju jalur sepur 4 dimana KA Argo
Muria nanti berada. Karena sama sekali belum pernah bertemu muka, saya mencari
kesebelah kanan dan Pak Nur kesebelah kiri. Ternyata Pak Nur lebih jeli, maklum
beliau punya empat mata!
Maka bertemulah kita, empat sekawan pesbukers lansia untuk yang PERTAMA
kalinya. Face to face. Aneh bin
ajaib, pertemuan itu layaknya orang yang sudah berteman sangat lama. Langsung
akrab dan nyambung. Apalagi Pak
Tursilo (suami bu Ruminah) ternyata juga priyayi
Jawa yang grapyak semanak. Baru ketemu sudah cekakakan bersama. Tidak lupa juga langsung ‘narsis’ bersama. Foto
dengan latar belakang emplasemen setapsiyun
Gambir. Namanya juga pesbukers,
harus narsis. Dimanapun, kapanpun!
Tibalah saatnya naik ke Kereta. Bu Rum dan
Pak Tur dapat gerbong nomer 4, saya, Pak Nur dan Pakde Bagio dapat gerbong
nomer 5. Tidak terlalu jauh. Tapi apa yang terjadi saudara-saudara? Setelah
membeli tiket beberapa hari sebelum keberangkatan, saya sudah memberitahu pak
Nur bahwa saya mendapat tempat duduk di gerbong eksekutif nomer 5. Nomer
kursinya 4 A. Alhamdulillah pak Nur
yang membeli tiket disalah satu cabang Mini
Market terkenal, (katanya) mendapat tempat duduk di gerbong no 5 juga. Jadi
kita bisa satu gerbong. Hanya nomor kursi yang berlainan. Pak Nur dan Pakde
bagio mendapat kursi nomer 8 C dan D. Bu Rum sempat iri dengan ‘keberuntungan’
kita bertiga itu.
Namun apa lacur, ketika tiba dikursi nomer
8 C dan D itu, ternyata sudah ada ‘penghuni’nya. Saya agak kaget dengan
kejadian nomer kursi dobel itu. Pakde
Bagio langsung bertanya dengan gaya Maduranya:
”Sampeyan nomor kursinya berapa?”
“Nomer
8 C dan D pak” jawab pemuda yang sudah enak duduk dikursi itu. Wajahnya tampak
‘ciut’ memandang tiga laki-laki seram yang mengeroyoknya.
“Gerbong
berapa?” tanya Pak Nur. Kami bertiga sudah langsung pasang sungu (tanduk) dan ‘mendelik’
(melototkan mata).
“Koq tempat duduknya bisa dobel?” Pakde
Bagio mulai meradang. Saya juga mulai ‘naik’ tensi. Wah, ada yang gak beres nih.
“Maaf,
bapak-bapak kursinya nomer berapa?” anak muda itu bertanya ragu-ragu.
Pak
Nur dengan segera melihat tiket ditangannya. Lalu memberikannya kepada pemuda
itu untuk dilihat.
“Lho, tiket bapak ini di gerbong nomer 2” kata anak muda itu dengan nada
menang perang.
Berebut
kita memelototi tiket yang kini ada ditangan Pak Nur lagi.
Whaaaat???? Mungkin
muka saya merah padam karena malu. Pak Nur salah baca? Aha, tiwas mata mendelik mendelik cak!! Isiiin akuuuuu.....
Sebelum
ditertawakan orang, kami bertiga langsung cabut. Bahna malu. Lha wong angka 2 koq dibaca sebagai
angka 5! Emangnya baru lulus kursus buta
huruf?
Bertiga
kita tertawa cengengesan sambil
meninggalkan TKP yang memalukan itu. Saya menuju ketempat duduk saya yang “sli asli” di gerbong 5 itu. Pak Nur dan
Pakde Bagio harus meneruskan perjuangan mencari tempat kedudukannya, pindah ke
gerbong nomer 2 sesuai yang tertera di tiketnya. .
“Awas
jangan melarikan diri ya? Kalau nanti digerbong 2 ada tempat kosong, Pak Tony
pindah kesana ya?” ancam Pak Nur sambil berlalu.
Haiyaaaa....dia
yang salah baca, lha koq malah saya
yang diintimidasi!
bersambung......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar