SIANG
CARI BATIK DI SETONO....MALAM BERBURU NASI MEGONO....
(KISAH
TOUR ‘WISKUL’ PESBUKERS LANSIA)
Istirahat sejenak setelah lelah mborong batik di setono
-Bagian
Keempat-
Meninggalkan
Pagilaran langsung ke...Setono...!
Dua buah mobil berplat merah (artinya
mobil dinas) meluncur turun dari area Kebun Teh Pagilaran mBatang. Kedua mobil
mengangkut para tamu lansia yang akan melanjutkan perjalanan. Sayang tidak
dikawal voor rijders pakai ‘nguing
nguiiing’. Biar kelihatan ‘orang penting’ gituuu. Memasuki kota Pekalongan,
mampir dikantor ‘yang punya kerja’ dulu untuk menurunkan barang-barang.
Selanjutnya meluncur ke pusat perkulakan batik ‘Setono’.
Waktu asar sudah lewat, sedangkan KA Argo
Muria dari Semarang yang akan dinaiki Bu Rum dan Pak Tur baru akan tiba sekitar
pukul 5 sore. Masih ada waktu menghabiskan sisa uang rapelan para pangsiyunan. Kalau perlu sampai ludes. Beberapa orang seperti kerbau
dicucuk hidung mengikuti tuan rumah yang dianggap sudah tahu seluk dan beluknya
Setono. Termasuk mungkin bisa dapat diskon banyak. Siapa tahu?
Saya mencoba melihat situasi sebentar.
Tawar sana tawar sini. Yang dikios utama sepertinya menerapkan harga ‘orang
luar’. Jadi saya pindah kedalam. Sudah lama saya selalu menerapkan taktik
menawar dengan patokan setengah harga dari yang ditawarkan. Biasanya berhasil.
Terbukti teman-teman haji dan umroh dulu sampai mengangkat saya sebagai “Boss Shopping”. Semua gara-gara saya
dianggap ‘the best negosiator’, sehingga
selalu dapat harga murah. Padahal mereka tidak tahu, mungkin faktor wajah saya
yang memelaszz yang membuat iba hati
pedagang. Ternyata di Setono saya berhasil memperoleh batik sawitan dua stel dengan harga yang
termasuk murah. Mutunya juga bpleh diadu Bung!
Sewaktu sudah berkumpul kembali ditempat
parkir, semua saling cek harga. Saya melihat wajah-wajah yang KUCIWA, ketika
tahu harga batik yang saya beli lebih murah dari lainnya. Bukan salah saya
dong! Salah siapa berlagak bos dan orang kaya? Hahahaha.....Jelas jadi makanan empuk para pedagang. Lha wong Bu Tuty koq diikuti. Kan semua
warung, toko obat dan pedagang batik Setono sudah tahu beliau itu Bu Ndoro Seten? Artinya dompetnya tidak
pernah ‘tipis’.
Walau banyak hati yang kuciwa, perjalanan
harus diteruskan. Pukul setengah 4 sore mobil saya jalankan pelan-pelan
menyusuri jalanan kota Pekalongan. Ternyata saya diberi besluit (SK) jadi sopir lagi
tapi non gaji. Ini jelas lebih sengsara daripada buruh out sourcing! Kota Pekalongan masih seperti yang dulu. Jadi saya
tidak keder dan tersesat. “Setapsiyun”
Pekalongan juga masih berdiri kokoh di Jalan Gajah Mada. Belum ada yang berani
menyulap stasiun ‘tuwir’ itu jadi
airport, misalnya. Manajemen PT KAI sekarang menerapkan kebijakan melarang siapapun
masuk kedalam stasiun, kecuali yang mempunyai karcis KA. Karcis peron pun tidak
lagi dijual. Jadi nyaris semua setapsiyun
sekarang lengang.
Dengan gaya sopir Pejabat Tinggi, mobil
saya parkir tepat di teras stasiun. Soalnya saya kasihan, kalau mobil parkir
didepan bagian paket pengiriman barang, nanti dikira Bu Rum dan Pak Tur mau
saya paketkan. Ora ilok, priyayi
sepuh jeeee.. Diteras stasiun canda
tawa dilanjutkan. Tidak peduli penumpang lain mau masuk lewat teras atau tidak.
Rombongan lansia penting koq. Bu Rum
dan Pak Tur, pasangan “Romidin dan Yulinem” eks
Pejabat Deptan akan kembali ke Jakarta. Pakde Bagio, Pak Nur Widodo dan
saya akan melanjutkan petualangan kewilayah timur Jawa.
Pak Tur sarimbit
akan ‘take off’ sekitar pukul lima sore, sedangkan kita bertiga masih harus
menunggu sampai lewat tengah malam. Soalnya KA Sembrani yang mengangkut istri
saya (yang akan ikut bertualang) baru berangkat dari Jakarta pukul 7.30 malam.
Sudah pasti nanti akan ada cerita “tiga lansia terlantar disetapsiyun”. Bagus
untuk ‘sunario’ pilem horor non
honor.
Tiba-tiba saya teringat bingkisan dari “juragan”
madu mBanyu Putih. Sepertinya riskan
sekali oyang-oyong mbetotong (membawa) dua botol madu yang tidak asli itu.
Apalagi harus ganti KA beberapa kali. Bisa kewirangan
kalau botolnya pecah sak maunya
sendiri. Namanya juga botol. Jadi dengan tanpa mengurangi rasa hormat, tapi
dengan mengurangi beban, saya minta ijin kepada Bu Rum untuk titip dua botol
madu itu. Ternyata dengan suka cita bu Rum berkenan membawakan madu itu sampai
ke Jakarta. Bahkan menantang (atau ‘nglulu’?)
kalau ada titipan barang-barang lain silakan. Eh, ternyata Pak Nur tidak mau kalah. Ikut nitip madu juga. Itulah
kalau madu tidak asli. Coba kalau MADU ASELI lhoooo, dijamin 200% pasti malah terus dikekepi. Eh, ini bicara madu cap apa sih?
Hari semakin sore. Tidak mungkin saya
parkir mobil terus ditengah teras Stasiun. Penumpang lain mulai berdatangan.
Jadi kini saatnya ‘auf wiedersehen’.
Kita lepas kembalinya Bu Rum dan Pak Tur dengan tertawa riang gumbira. Padahal
terakhir Pakde Bagio minum soda gumbira sudah kemarin siang. Keluar dari
stasiun saya jalankan mobil pelan-pelan, sebenarnya perut saya sudah mulai main jazz. Maklum makan siang tadi
terburu-buru gara-gara Pakde kesusu
mau mengajar “terapi tawa”, sampai nyaris habis staminanya. Pantesan sepanjang jalan Pagilaran –
Pekalongan Pakde terlihat tenang hanyut dialam mimpi. Kuwaregen cak!
Bu Tuti menjanjikan akan mengajak makan
nasi megono di pingir alun-alun kota mBatang. Hati saya sedikit terhibur
membayangkan nasi dan sayur cacahan nagka muda yang mirip urap itu. Tapi Pakde
pasti hilang selera, soalnya yang ada dibayangannya hanya nasi goreeeeng saja.
Sewaktu mobil masuk kejalan menuju rumah
Bu Tuti, dari jauh kelihatan seseorang naik sepeda motor mengawal sebuah mobil
ber plat nomor tentara. Saya pikir ini ‘voor
rijders’ cap apa. Koq tidak pakai
seragam, cuma pakai sendal butut, helmnya saja sudah mbluwek (pudar) catnya! Ah pasti petugas parkir yang diminta
menunjukkan jalan. Ternyata Bu Tuti berteriak:
“Eh, itu mobil dinas adik sepupu saya dan
yang naik motor itu mas Budi!” Jabang
bayiiik cindhil abang. “Mas Budi” yang disebut itu adalah suami Bu Tuti. Saya benar-benar salah tingkah. Sebab
mobil yang saya sopiri ini sebetulnya malah mobil dinas Pak Budi yang Pejabat
Teras Pemda mBatang jeee....lha koq malah kita yang enak-enak methongkrong, yang punya mobil malah ‘nrimo’ naik motor. Segera mobil saya parkir
ketepi jalan yang tak terlalu lebar itu. Mesinnya masih menyala.
Belum habis saya tersepona, tiba-tiba
sebuah wajah muncul dijendela mobil, sontak saya njenggirat:
“Eh, Pak Seten!!!” Otomatis saja mulut saya berteriak. Suami Bu Tuti memang
menjabat Asisten I di Pemda. Saya biasa menyebut Asisten dengan “Seten” saja. Mungkin mirip wong Jowo
yang manggil Pak Opsichter dengan “Sinder”.
Kaleee.... Pak Budi hanya tersenyum.
“Nuwun sewu, saya nganterin adik keluar dulu sebentar....silakan mampir kerumah”. Kata beliau mencoba seramah mungkin.
Saya
membatin, lha emangnya kita mau kemana? Ya memang kita mau nunut mandi dan sholat dirumah Bapak!
Lesehan
makan nasi megono didekat lampu “bangjo”.....
Sampai dirumah Pak Seten, eh Pak Budi,
kita tertawa cekakakan tidak
henti-hentinya mengingat kisah pertemuan dijalan tadi. Sesudah magrib kita
mandi dan sholat bergantian dikediaman Bu Tuti yang cekli. Kini saatnya berburu ‘nasi Megono’ yang konon kabarnya
paling Top sak alun-alun mBatang.
Pak Budi sudah rapi dan langsung mengambil
alih kemudi. Mobil dilarikan menuju ke alun-alun. Karena bukan hari libur,
alun-alun tampak tidak terlalu ramai. Memutari alun-alun sampai kedepan masjid
besar mBatang, mobil langsung diparkir. Semua tukang parkir di sekitar
alun-alun tampaknya hapal benar mobil siapa itu. Mobil Pak Seten geeetu lhooooh.
Terletak persis diujung jalan dimana
terdapat traffic light, berdiri sebuah warung tenda
tak terlalu besar. Dari kejauhan yang nampak cuma sekelompok orang yang sibuk
makan secara lesehan. Ramai sekali. Paling ramai dibanding warung tenda
lainnya. Saya punya pegangan sederhana, kalau warung ramai pengunjung hanya ada
dua opsi. Enak atau murah, atau gabungan keduanya. Kalau melihat pengunjung
makan dengan dokoh (lahap),
sepertinya sih cukup enak masakannya.
Setelah menunggu beberapa saat, barulah
kita kebagian tempat lesehan. Saya lihat meja disekeliling saya penuh lauk dan
pauk yang menggoda iman. Ada peyek udang, sate jerohan, sate telor puyuh, telor
asin, bermacam lauk goreng dan kawan-kawannya. Ada juga lauk yang dibungkus
daun pisang. Mungkin sebangsa bothok. Ada dua cara makan nasi megono disini.
Mau yang pakai piring atau pakai pincuk.
Saya jelas memilih yang memakai pincuk. Kapan lagi ketemu pincuk dikota besar.
Susah nyarinya walau pasti ada. Sejak dari setapsiyun
sebenernya mobil Bu Bidan ‘juragan madu’ mBanyu Putih menginthili mobil saya. Tapi entah kenapa kemudian kabur. Mungkin
takut kalau diajak makan nasi megono. Bisa sakit perut beliau. Sewaktu kita
mulai makan lesehan, bu Bidan baru datang. Tapi tetep tidak mau ikut makan.
Pasti tadi sudah makan di restoran.
Saya menikmati betul nasi megono itu.
Rasanya seperti gabungan antara sayur thewel
(nangka) dan urap. Pokoknya mak joooos.
Saya sampai nambah separo. Yang separo disikat bersih oleh Pak Nur. Saya lirik
Pakde Bagio makan kurang semangat. Pasti sedang membayangkan nasi goreng dan
soda gumbira kareman (kesukaan)nya.
Orang koq gak bisa lepas makan nasgor. Cuma habis sepincuk Pakde langsung
berdiri. Alasannya gak kuat kalau
lama-lama lesehan. Haiyaaaa Ngelesdotcom
dia.
Nasi megono tandas, tibalah saatnya kita
berpisah. Bu Bidan mau meneruskan pulang ke Istananya dipedalaman mBanyu Putih sana. Kasihan malam-malam nyopir
sendiri, kuatir dinunuti mbak kunti.
Merasa sudah merepotkan banyak fihak,
terutama Bapak dan Ibu Budi, beliau berdua pasti sudah capek sekali melayani
tiga lansia ‘nakal’ ini. Maka kita langsung minta diantar ke setapsiyun lagi. Lebih baik nunggu di
ruang tunggu eksekutip walau mungkin kurang representatip. Kalau
dihitung-hitung, dalam sehari ini kita sudah bolak balik ke setapsiyun, kayak calo karcis saja.
Meski agak menahan-nahan supaya kita
beristirahat lagi dirumah beliau, akhirnya kita menang juga. Maka sebelum pukul
setengah embilan malam kita sudah harus ngendon di setapsiyun. Sembrani baru
tiba tengah m,alam. Apa boleh buat, onde- onde selalu bulat.
Selamat tinggal Bapak dan Ibu Budi,
terima kasih atas semua bantuan dan pelayanan. Moril, materiil dan onderdil.
Semoga Allah Swt yang membalas dengan pahala berganda. Aamiiin. Sampai jumpa digelombang yang sama. Kalau masih ada
kesempatan dalam kesempitan. Stay tune babeee....lho koq?
bersambung...........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar