TIGA LANSIA MENYERBU..... WARUNG MAKAN!
(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)
(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)
Warung Nasi "Tanpa Nama" di Garahan
-Bagian
Kesembilan-
Kursi
“buto” dibukit Gumitir
Kabupaten nJember sebagian besar merupakan daerah yang berbukit-bukit.
Sepanjang perjalanan dari Kalibaru menuju kota Jember yang jaraknya sekitar
40-an kilometer penuh dengan tanjakan dan turunan. Lepas dari gerbang batas
kota dimana Pak Nur Widodo bernostalgia saat jadi penari ‘tayub’, terdapat
semacam rest area (tempat rehat) disebelah kiri jalan. Terdiri
dari beberapa saung atau pondok,
letaknya saling berjauhan dengan kontur dataran yang naik turun. Kelihatannya
masih baru saja direhab atau direnovasi. Konon tempat rehat ini dikelola oleh
salah sebuah PTP. Oleh sebab itu lumrah kalau tampak terawat. Lapangan parkir
cukup luas dan bersih.
Kursi "buto" di bukit Gumitir
Hawa sejuk langsung terasa dikulit. Segar
terasa sampai kesungsum tulang. Seandainya saja udara Jakarta bisa sesejuk dan
sesegar ini. Mimpi kali yeeee.... Boro-boro
hawa segar, pengap dan macet iya.
Melihat pemandangan sekitar sungguh menyejukkan mata. Sejauh mata memandang
adalah hijau perbukitan. Tapi nanti dulu. Ada yang aneh disini. Bercokol dengan
jumawa diujung pelataran parkir,
sosoknya seperti sedang mengawasi perbukitan sekitarnya. Ukurannya jelas bukan untuk ukuran mahluk
biasa. Terbuat dari kayu entah jenis apa, sosok yang berdiri kokoh itu adalah
sebuah kursi!
Untuk siapa dan untuk apa kursi sak hohah (sebesar) itu, saya tak butuh
tahu. Pakde Bagio saja tidak bisa menjelaskan hal tersebut. Pasti hanya seorang
‘buto’ (eh, apakah buto termasuk
golongan orang sih?) yang bisa duduk
bercengkerama dikursi itu. Ukurannya yang jelas ekstra amat sangat besar sekali
langsung jadi point of view
dilapangan terbuka itu. Barangkali tingginya sekitar 3 sampai 4 meter. Luas
tempat duduknya mungkin lebih dari 3 x 3 meter. Jadi kalau ada orang yang nekat
naik keatas kursi ‘buto’ itu, mungkin bisa bergerombol sampai satu regu
sekaligus.
Sekitar setengah jam lebih berada
dikawasan yang semilir sejuk menenangkan itu, sambil mendengarkan cerita pak sopir yang tak
lain adalah mas Didit. Mantan peragawan kondang di Jember, yang putra sulung Pakde Bagio itu ternyata
mewarisi bakat bercerita sang ayah. Padahal sebelumnya Pakde bilang mas Didit
seorang pendiam. Mungkin dengan Pakde ia pendiam, soalnya ‘sang Kumendan’ sangar banget
siiih. Buktinya mas Didit malah ngobrol
ngalor ngidul dengan tamu-tamu lansia ini.
Wajahnya yang ganteng sangat santai bercerita.
Bukit-bukit sekitar Gumitir ini dari jauh kelihatannya masih
sangat rimbun dan hijau menghutan. Begitu cerita mas Didit. Tapi jangan kaget,
kalau bukit itu didaki maka yang ada dipedalaman adalah tanah yang gundul dan
gersang. Pohon-pohonnya sudah bablas ditebang
pembalak liar. Apalagi sewaktu jaman reformasi baru bergulir. Semua merasa
punya hak untuk menebang pohon. Sesuka hati. Reformasi geeetu lhooooh.... Euforia reformasi tampaknya malah membuat
masyarakat pedalaman jadi ‘repot nasi’.
Artinya kurang pangan. Tak heran rakyat jadi semakin nekat.
Warung
nasi 'tanpa nama' yang swalayan
Hari semakin siang. Niat Pakde untuk
memamerkan obyek wisata di Bukit Gumitir yang harus ditempuh dengan jalan kaki
terpaksa tak bisa dipenuhi. Saya dan Pak Nur (juga isteri saya) merasa sudah
tak mampu lagi jalan kaki jauh. Apalagi kalau harus naik turun bukit. Bisa-bisa
malah pulang dalam kondisi di dabyang-dabyang
(digotong). Maka perjalananpun diteruskan. Mobil melaju kencang menyusuri
jalanan yang naik turun berkelak kelok. Suasananya mirip daerah Alas Roban,
Jawa Tengah. Tapi turunan dan tikungan disini lebih banyak serta panjang
sekali.
Tepat beberapa saat sesudah adzan dhuhur,
mobil menepi kesebuah warung. Masih disekitar daerah Garahan. Ini adalah
‘obyek’ yang akan dipamerkan oleh Pakde kepada tamu-tamunya. Warungnya sih biasa saja. Dindingnya terbuat dari
setengah batu campur tahu, weh anu, salah nding, campur anyaman bambu. Sangat sederhana. Tapi isinya ternyata ruaarrr biasaaa. Begitu masuk kedalam, yang tampak hanya hamparan
bermacam lauk pauk. Kebanyakan aneka gorengan. Didinding terdapat rak-rak
gantung berisi aneka kudapan kemasan plastik nan mengundang selera.
Aneka ikan goreng di Warung tanpa nama Garahan
Digelar diatas nampan plastik, tampak bermacam ikan goreng, baik ikan laut atau
ikan air tawar. Potongannya lumayan besar. Ada telur dadar, telur ceplok, hati
dan ampela serta ayam goreng. Tak ketinggalan lauk favorit banyak orang, Tempe dan
tahu goreng. Ada pula bermacam lauk yang dibungkus daun pisang. Nyaris komplit plit.
Angan saya langsung melayang ke Warung
Bebas di Rambipuji. Tapi disini jangan mencari jangan (sayur). Yang ada hanya dedaunan mentah untuk lalapan. Seperti di Warung Bebas, disini para
pelanggan juga harus swalayan. Nasi dan lauk ambil sendiri. Nasi dan teh tawar
gratis. Mau ambil berapa piring. Itu juga masih biasa. Yang istimewa adalah,
sambal cobeknya. Pengunjung harus memesan khusus sambalnya kepada seorang ibu
yang berada didapur. Si ibu ini tugasnya memang hanya khusus mengulek sambal.
Memakai cobek tanah liat ukuran cukup
besar, sambal akan langsung diulek didepan mata anda. Soal tingkat
kepedasannya, anda bisa menentukan sendiri jumlah cabe sesuai kehandalan lidah
masing-masing. Jadi kalau nanti mulut anda berbunyi huh hah huh hah kepedasan, itu sepenuhnya adalah tanggung jawab
anda sendiri. Secara moril, materiil maupun onderdil. Sambal ulek disini berwarna merah ‘manyala bob’. Murni hanya campuran
cabe, garam, terasi dan tomat. Hebatnya, sambal itu gratis tis, alias cuma-cuma. Karena diwarung ini yang harus dibayar
hanya seberapa banyak anda mengambil lauk pauknya. Mungkin kalau anda mau
sangat berhemat, makan saja nasi putih dengan sambal dan minum air teh tawar.
Ditanggung anda keluar tanpa bayar. Tapi masa’ anda tega sih? Boleh saja anda
coba kalau memang benar-benar sedang bokek
bin bangkrut.
Sambel ulek Garahan
Saya lihat Pakde Bagio dan Pak Nur Widodo
langsung mengambil lauk pilihan hatinya. Sepertinya yang dipilih ikan laut
goreng. Tidak jelas ikan apa namanya. Tapi bisa saya pastikan bukan ikan paus goreng.
Dipiring kaleng ada setekruk dedauan dan sambal
secobek penuh. Warnanya merah bibir gadis merekah, menandakan tingkat rasa
pedas yang tinggi. Heran juga Pakde bisa makan dengan begitu lahabnya. Padahal
yang dimakan bukan menu idealnya: nasi goreng.
Hanya mas Didit yang nampak malu-malu. Cah Bagus yang peragawan itu makan dengan tenang, sama sekali tidak
mirip cara makan sang kumendan.
Ternyata ada satu minuman yang sangat
kondang disini. Dikemas dalam sebuah botol mirip botol bir. Namanya juga
pakai embel-embel bir, "Bir Temulawak".
Kata Pakde asli bikinan pabrik rumahan di sekitar daerah Jember. Karena penasaran, saya mencoba minum sebotol,
tapi tanpa es batu.
Rasanya? Wuidiiiiih.. suueeeger tenan reeek.....Angaaaak hooooo...
Rasanya? Wuidiiiiih.. suueeeger tenan reeek.....Angaaaak hooooo...
Seketika ingatan saya melayang ke jaman
tahun 60-an ketika Kris Biantoro menyanyikan lagu yang populer pada waktu itu:
“Biiiiiiiiiir..... temulawaaaak.... lambemu njedhiiiirrrr.... eits salah nding...... yen dipikiiiiir
ngrusakke awaaaak.......!!!”
Yang jelas saya minum sebotol bir
temulawak tapi gak pakai mikir, takut kalau kantong saya yang malah tambah rusak.
Opo hubunganeeee???
Opo hubunganeeee???
bersambung........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar