DARI GARAHAN MENYERBU.....mBONDOWOSO
(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)
Tiga Lansia 'plus' mejeng didepan "Gerbong Maut"
-Bagian Kesepuluh-
Kisah sarjana yang memilih beternak ayam dan bebek
Makan di warung ‘tanpa nama’ di Garahan dengan lauk
sak dabreg (banyak sekali) itu mengakibatkan mata seperti mendapat beban sekarung beras.
Saking ngantuknya.
Mas Didit menjalankan mobil dengan santai. Angin semilir menerpa lewat
jendela mobil yang terbuka. Sekuatnya saya menahan kantuk. Biar aman dan
tidak diganggu Pakde, saya pakai kacamata hitam. Pak sopir yang ganteng
itu terus bercerita. Sebetulnya Pakde Bagio sudah pernah bercerita
sedikit tentang
‘konstelasi’ dan struktur organisasi
keluarganya. Yaitu sewaktu malam-malam tiga lansia berdiri diperon
Stasiun Pekalongan menunggu KA Sembrani. Tapi tentang Mas Didit putra
sulungnya ini hanya diceritakan saat jatuh dari sepeda motornya saja.
Walaupun mempunyai gelar sarjana, (juga seorang peragawan) mas Didit
ternyata kukuh dengan pendiriannya untuk hidup mandiri. Yaitu ber
wiraswasta. Jarang ada seorang sarjana yang punya pikiran seperti ini.
Dan sikapnya tetap konsisten dan konsekwen dengan niatnya. Walaupun
beberapa kali mengalami jatuh bangun. Saat ini mas Didit menjalankan
bisnis peternakan ayam negeri dan bebek. Lahannya terletak jauh diluar
kota Jember, yaitu disekitar pantai Puger. Pantai terkenal di Kabupaten
Jember ini adalah penghasil ikan laut dan terasi (blacan) yang
namanya sangat kondang. Lahan peternakannya itu sekitar 40 kilometer
jaraknya dari rumah. Tapi memang tidak setiap hari didatangi. Mengupah
dua orang petugas untuk mengurusi hewan ternaknya, mas Didit hanya
menangani urusan manajemennya saja. Termasuk seluk beluk beternak hewan
unggulan yang justru bukan ilmu yang dipelajarinya di perguruan tinggi.
Tampaknya usaha peternakan mas Didit cukup berhasil.
Diam-diam Pakde Bagio sangat bangga terhadap putra sulungnya ini. Juga
putra putrinya yang lain. Itu terlihat dari bahasa tubuhnya saat
berkisah tentang putra putri dan cucu-cucunya. Begitu memasuki teras
rumah Pakde yang berada di jalan Semeru, pandangan mata para tetamu akan
langsung menyaksikan foto keluarga besar Pakde dan Bude. Tidak
tanggung-tanggung, bukan cuma seukuran kartu pos, foto keluarga itu
seukuran “kantor pos”! Memang tidak lazim. Biasanya orang memajang foto
keluarga diruang tamu. Tapi Pakde memajang foto diluar rumahnya.
Menempel didinding teras dengan full warna. Jadi semua orang dapat melihatnya. Gratis. Saya hanya bisa membatin: “Pakde Bagio memang orang yang extra ordinary (tidak biasa)”. Tidak heran sifat itu menular (koq seperti penyakit?) kepada putra putri, bahkan para cucunya.
Undangan dari “Bos Bond” petinggi mBondowoso.....
Saya punya kebiasaan buruk mencatat semua kegiatan yang saya jalani
(walau kadang hanya dalam hati dan pikiran). Terutama kalau sedang
bepergian. Itu sebabnya saya selalu membawa kamera. Tentu juga sebuah
ponsel yang bisa terus meng update status dan komen di pesbuk. Jadi semua kegiatan hari itu selalu saya posting ke pesbuk berikut gambarnya. Namanya juga pesbuker lansia narsis.
Dalam perjalanan pulang dari Garahan itulah saya menerima pesan inboks dari sesama pesbuker. Pengirimnya adalah seorang alumnus Universitas Diponegoro yang (kini) berdomisili di Bondowoso. Tapi saya tidak tahu apa pekerjaan atau jabatan beliau.
“Sdh sampai Jember koq tdk ke Bondowoso yang terkenal tapenya. Silakan mampir klo ada wkt”
“Serius neh? Bos sdg tdk sbk?” saya menjawab pesannya.
“Kebetulan sy ada ditmpt. Nanti mlm br mau ke Bandung”.
Hati saya agak bimbang. Pertama, selama ini komunikasi saya dengan “Bos Bond”
(begitu saya memanggilnya di pesbuk) hanya sebatas saling komen status
masing-masing. Saya merasa cocok saja, karena kadang-kadang status dan
komennya agak ‘nakal’. Sama seperti status dan komen saya yang kadang
malah agak ‘urakan’. Tapi terus terang hubungan saya dengan
beliau tidak seakrab seperti dengan Pakde Bagio. Kedua, sudah lama Pakde
ingin memamerkan pantai Puger kepada saya dan Pak Nur. Untuk itu sampai
beliau rela mengirim ‘contoh’ terasi Puger kepada saya agar percaya.
Jarak kepantai Puger sekitar 40an kilometer. Ke Bondowoso lebih dekat,
hanya sekitar 30 kilo.
Waktu istirahat sebentar di
hotel saya sampaikan pesan itu kepada Pak Nur. Walau sedikit ragu Pak
Nur sependapat dengan saya. Resikonya memang Pakde pasti akan kuciwa. Saya kirim pesan lagi ke ‘Bos Bond’:
“Klo sy mampir apa tdk merepotkan? Sptnya bos sibuk skl”
“Tdk. Sy ke Bdg nanti mlm. Sy tunggu diktr. Klo sdh dkt tlg beritahu”
Terus terang saya senang. Tidak mengira akan bertemu muka dengan kenalan baru dari pesbuk dikota yang belum pernah saya datangi. Daripada ke Puger yang jauh, mending ke Bondowoso saja. Akhirnya Pak Nur manut. Mungkin ngeri lihat brewok saya. Siapa peduli.
Meskipun terlihat kuciwa karena point of interest
pilihannya gagal, tapi Pakde Bagio memperlihatkan jiwa besarnya
(dibadan yang besar terdapat jiwa yang besar juga). Kini saatnya Pak Nur
giliran mengemudi. Saya minta mampir sebentar ditoko pakaian. Saya
butuh baju yang pantas. Soalnya semua baju sudah jadi tumpukan baju bau
dan dekil. Walau disemprot parfum tetap tidak akan menolong. Saya beli hem batik murah meriah tapi cukup pantas. Jadi....tariiiik maaaang.....
Sekitar pukul tiga seperempat kijang meluncur kekota tape mBondowoso.
“Klo sdh msk kota, cr monumen gerbong maut. Ktr sy ada di dpn nya” ada pesan lagi dari pak Bos. Saya sampaikan berita itu kepada Pakde Bagio.
“Kalau hanya kota Bondowoso saya tahu sampai ke lubang semutnya” kata Pakde jumawa. Haaalaaah, Pakde nyombong lagi. Ternyata Pakde memang lahir dikota Bondowoso. Ngakunya sih orang Madura. Biar tampak sangar...kaleeeee...
Menghadap Setap Ahli.....
Sekitar pukul empat sore mobil sudah masuk kota Bondowoso. Kotanya
bersih dan tenang. Hawanya sejuk segar. Bisa saya rasakan langsung dari
udara yang masuk lewat jendela mobil. Bondowoso adalah ibukota Kabupaten
Bondowoso yang mendapat julukan ‘daerah tapal kuda’. Entah kudanya
sebesar apa. Bondowoso tidak punya pantai, apalagi lautan. Luasnya hanya
sekitar 1.560 kilometer persegi. Lebih sempit dari Jember. Penduduknya
juga sekitar 750 ribu orang saja. Tapi udaranya memang sangat sejuk,
berkisar antara 15 – 25 derajat Celcius.
Kantor Bupati Bondowoso
Mobil sudah sampai dialun-alun kota. Dari jauh nampak sebuah monumen berbentuk gerbong Kereta Api. Saya celingukan
mencari-cari kantor yang ada didepan monumen. Hanya satu yang pantas
disebut kantor. Dan itu Kantor Bupati Bondowoso. Waduh! Jangan-jangan Bos Bond Bupatinya. Tapi pintu gerbangnya sudah ditutup separuh. Sepi
sekali. Saya minta sopir, eh Pak Nur untuk masuk saja, nanti bisa bertanya kepada satpamnya.
“Bos sy sdh msk hlman ktr neh” saya lapor kepada Bos Bond.
“Trs sj ke hlman dpn. Parkir didpn pintu utama” balas nya.
Pintu utama? Yang mana sih pintu utamanya? Saya masih seperti “tulup dikethek”.
Lha genah baru sekali-kalinya masuk kantor ini.
“Mau bertemu dengan siapa pak” seorang Satpol PP yang ada dipos depan langsung bertanya.
“Anuu, ehm, Pak Bos Bond, eh anuuu, Pak Bambang..” jawab saya gelagepan. Satpol tampak tambah curiga.
“Ada banyak sekali nama Bambang disini. Nama panjangnya siapa?”
Saya bingung. Tidak tahu kalau nama Bambang ternyata kodian, eh salah, banyak sekali. Mau saya jawab “nama panjangnya Bambaaaaaaaaaang” gitu, nanti dikira malah saya meledek.
“Ada juga Pak Bambang kepala Humas, kantornya disebelah situ” kata si satpol lagi sambil menunjuk kantor disebelah kirinya. Bos Bond Kepala Humas? Agak pantas kalau dilihat dari gaya ngebos nya.
Mobil bergerak menuju “kantor disebelah situ” seperti kata Satpol tadi. Koq sepi sekali? Tidak tampak satu batang hidungpun. Apalagi orang. Saya biyayakan (kalang kabut) sendiri. Mata saya jelalatan.
Saya lirik Pak Nur masih didalam mobil pegang setir. Entah mau kemana
itu setir kalau tidak dipegangi. Pakde Bagio tampak santai saja seperti
orang aras-arasen (ogah-ogahan). Mungkin dalam hatinya kuciwa. Siapa tahu?
Daripada terus ngung-bingung, saya telepon Bos Bond.
“Bos saya ada didepan kantor Humas, Bos Kepala Humas bukan?”
“Kepala Humas? Bukan, saya pegawai rendahan koq. Cari saja pintu utamanya, saya ada dilantai dua”
Hadeh. Daripada pusing saya serahkan telepon kepada Satpol.
“Ini nih Pak Bambang, coba sampeyan tanya sendiri beliau kantornya yang mana”
“Halo
Pak, ya ya...oooo...siap pak, ya, baik pak saya antarkan ke ruangan
bapak” kata si Satpol ditelepon. Berdirinya mendadak jadi sikap
sempurna.
“Oh, Pak Bambang yang bapak maksud adalah Staf Ahli Pak Bupati. Mari saya antar kesana Pak” sekarang si Satpol jadi kelewat hormat.
Saya melongo. Bos Bond Staf Ahli Bupati? Welhadalaaah. Jago mbujuki wong (menipu orang) tenan ki. Katanya pegawai rendahan. Saya salah tingkah sendiri. Mau bertemu Staf Ahli Bupati koq cuma pakai sandal mbaktut, eh, butut. Untung saya sudah beli hem batik tadi. Kalau tidak, bisa tambah kewirangan.
Dag dig dug der,
saya mengikuti Satpol menuju kantor Pak Setap Ahli. Terletak dilantai
dua Kantor Bupati, ruang kerja “Bos Bond” berada disebelah ruang kerja
Wakil Bupati. Pak Nur, Pakde Bagio dan isteri saya masih thimak thimik (pelan-pelan) jalan dibelakang. Sepertinya semua jadi ngeper mau menghadap Staf Ahli Bupati.
Yang terhormat Bapak Bambang Dwi Aguswidadi ‘Bond’ (inilah nama lengkap
yang tertera dipesbuk) menyambut dengan senyum terkembang. Mengenakan
kemeja safari batik khas pejabat, saya tidak asing dengan wajah dan
kacamata bacanya. Karena wajah seperti itulah yang tampak di foto profil
beliau di akun pesbuk. Rasa jengah (segan) melanda saknalika.
Otomatis saya berbicara memakai bahasa Jawa halus. Demikian pula isteri
saya. Yang lain memilih bicara dengan bahasa gado-gado dan ketoprak.
Ruang kerja Staf Ahli Bupati Bondowoso tidak terlalu besar. Sebuah
meja kerja terletak disebelah kiri dari pintu masuk. Di samping depannya
terletak satu set sofa tamu berbentuk “L”. Suasana semula agak kaku.
Bos Bond sebenarnya cukup ramah. Saya langsung memulai dengan kata-kata
kocak ketika memperkenalkan ‘rombengan’ pesbuker lansia yang saya bawa.
Ini usaha untuk mencairkan susana. Selanjutnya bisa diduga. Tawa cekakakan tak terhindarkan memecah keheningan dikantor yang sudah sepi pegawai itu.
Bos Bond, eh Pak Staf Ahli sesuai janjinya mengajak kita untuk keliling
kota. Pejabat Tinggi satu ini memang kentara sekali suka merendahkan
diri. Mungkin juga untuk meninggikan mutu. Hari sudah semakin sore.
Sambil berjalan keluar ruangan beliau bercerita bahwa kantor Bupati
Bondowoso sehari-hari memang sepi. Soalnya Bupati dan Wakil Bupatinya
lebih suka berkantor dirumah kediaman masing-masing. Tidak ada yang tahu
dengan alasan apa.
Saya langsung berkomentar dengan gaya pak Tursilo, suami bu Ruminah:
“Ah, Bupati dan Wakilnya tidak penting pak, yang penting Staf Ahlinya...”
Satu hal yang saya sesali. Mungkin karena rasa jengah, saya jadi lupa mengabadikan momen-momen penting saat tiga lansia menghadap Staf Ahli Bupati tadi. Padahal kamera dan tablet selalu saya tenteng kemana-mana.
Hilang sudah saat-saat yang bersejarah. Aseem tenaaan iiik....gelooo akuuu....
bersambung...........