Fotos courtessy Google
Ni’mah bin Basyir RA pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Bahwa sesungguhnya dalam diri setiap manusia itu ada segumpal daging. Apabila daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Namun apabila daging itu busuk, maka seluruh tubuh (manusia) itu akan menjadi busuk pula. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah HATI” (HR. Bukhori dan Muslim).
Sejatinya sabda Rasulullah SAW itu adalah sebuah peringatan bagi setiap muslim untuk berusaha agar dapat senantiasa “menjaga hati” nya. Hati atau kalbu adalah sebuah benda yang bisa dikategorikan sebagai benda nyata maupun benda abstrak. (Saya bukan ahli tata bahasa Arab, tapi menurut seorang Ustadz, Qalb arti harfiahnya adalah jantung. Dalam hadits diatas banyak yang mengartikan Qalb/kalbu itu dengan hati. Dan yang saya pakai dalam konteks tulisan ini memang hati)
“Bahwa sesungguhnya dalam diri setiap manusia itu ada segumpal daging. Apabila daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Namun apabila daging itu busuk, maka seluruh tubuh (manusia) itu akan menjadi busuk pula. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah HATI” (HR. Bukhori dan Muslim).
Sejatinya sabda Rasulullah SAW itu adalah sebuah peringatan bagi setiap muslim untuk berusaha agar dapat senantiasa “menjaga hati” nya. Hati atau kalbu adalah sebuah benda yang bisa dikategorikan sebagai benda nyata maupun benda abstrak. (Saya bukan ahli tata bahasa Arab, tapi menurut seorang Ustadz, Qalb arti harfiahnya adalah jantung. Dalam hadits diatas banyak yang mengartikan Qalb/kalbu itu dengan hati. Dan yang saya pakai dalam konteks tulisan ini memang hati)
Hati sebagai benda yang nyata bagi seorang manusia adalah sebuah organ sangat penting yang berfungsi menyaring darah yang akan beredar keseluruh tubuh. Dalam ilmu kesehatan disebutkan bahwa apabila fungsi hati terganggu, maka kesehatan manusia juga akan terganggu. Apalagi kalau hati sampai rusak (terkena kanker hati atau sirosis misalnya), maka jiwa si manusia bisa terancam ‘rusak’ pula. Bahkan bisa menyebabkan ‘game over’ alias tamat riwayatnya (sebagai manusia).
Dengan demikian menjaga -kesehatan- hati (sebagai benda nyata) berarti menjaga tubuh kita agar tetap dalam kondisi prima alias sehat wal afiat.
Hati sebagai benda abstrak adalah nurani yang dimiliki setiap insan manusia, mahluk yang sempurna dan mulia ciptaan Allah SWT. Didalam hati nurani manusia itu pulalah sesungguhnya Sang Maha Pencipta berkenan menitipkan (walau hanya setitik saja) dari sifat rohman dan rohim Nya.
Namun apakah setiap manusia mampu menerjemahkan titipan sifat ‘pengasih dan penyayang’ dari Sang Khalik itu? Ternyata tidak. Dalam kehidupan sehari-hari pasti akan kita temui orang-orang yang bersikap welas asih terhadap sesama. Orang yang begitu peduli kepada nasib orang lain. Orang yang tidak mementingkan keperluan diri pribadinya. Pendek kata ia adalah orang yang didalam sabda Rasulullah SAW diatas termasuk yang mempunyai “segumpal daging yang baik”.
Akan tetapi tidak jarang pula kita temukan orang-orang yang mempunyai “segumpal daging yang rusak” dalam tubuhnya. Dan sebagaimana “rumus” sifat-sifat buruk lainnya, (yang lebih mudah menular kepada orang lain), maka ternyata lebih banyak orang yang hidup dengan “segumpal daging yang rusak” dibanding dengan orang yang mempunyai “segumpal daging yang baik”.
Jaman memang telah berubah. Tentu saja kehidupan umat manusia juga ikut berubah seiring dengan kemajuan jaman yang sangat pesat. Jaman modernpun telah berkembang menjadi jaman globalisasi. Ini mengakibatkan tata kehidupan manusia berubah mengikuti ‘tren’ atau pola yang tersebar merata kesegala penjuru dunia.
Tren kehidupan manusia modern cenderung berkiblat kepada kehidupan duniawi. Kehidupan yang membuat manusia mudah sekali terperangkap dalam pola hidup yang bukan saja tidak Islami, tetapi juga sudah menafikan semua ajaran moral agama. Agama apapun juga.
Manusia mulai lupa pada kaidah dan akidah ajaran agama. Ditandai dengan makin menipis atau bahkan menghilangnya apa yang sering kita sebut sebagai hati nurani tadi.
Akan tetapi tidak jarang pula kita temukan orang-orang yang mempunyai “segumpal daging yang rusak” dalam tubuhnya. Dan sebagaimana “rumus” sifat-sifat buruk lainnya, (yang lebih mudah menular kepada orang lain), maka ternyata lebih banyak orang yang hidup dengan “segumpal daging yang rusak” dibanding dengan orang yang mempunyai “segumpal daging yang baik”.
Jaman memang telah berubah. Tentu saja kehidupan umat manusia juga ikut berubah seiring dengan kemajuan jaman yang sangat pesat. Jaman modernpun telah berkembang menjadi jaman globalisasi. Ini mengakibatkan tata kehidupan manusia berubah mengikuti ‘tren’ atau pola yang tersebar merata kesegala penjuru dunia.
Tren kehidupan manusia modern cenderung berkiblat kepada kehidupan duniawi. Kehidupan yang membuat manusia mudah sekali terperangkap dalam pola hidup yang bukan saja tidak Islami, tetapi juga sudah menafikan semua ajaran moral agama. Agama apapun juga.
Manusia mulai lupa pada kaidah dan akidah ajaran agama. Ditandai dengan makin menipis atau bahkan menghilangnya apa yang sering kita sebut sebagai hati nurani tadi.
Di negeri yang kita cintai ini, makin nyata tanda-tanda semakin banyaknya orang yang memiliki “segumpal daging yang rusak” itu. Akhir-akhir ini tak dapat kita pungkiri adanya kenyataan, bahwa semakin banyak manusia dinegeri ini yang telah menjadikan uang, kekuasaan, materi ataupun harta sebagai panglima dalam kehidupannya. Mulai dari para pemimpin, penguasa, pengusaha, politikus bahkan tak terkecuali (maaf) kaum ulama. Alih-alih menyadari bahwa jabatan yang diemban adalah sebuah amanah, para empunya jabatan itu justru memakai dan mendaya-gunakan jabatannya untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya bagi diri pribadi dan golongannya.
Padahal selama ini sering kita dengar ceramah dari para Da’i dan Ustad, bahwa dalam salah satu hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Apabila sebuah amanah (pekerjaan, jabatan, kekuasaan) diberikan kepada orang yang bukan AHLINYA, maka tunggu saja saat kehancurannya”.
Senyatanya, pemimpin yang mendapat amanah untuk memerintah negeri ini, justru memilih para “pembantu” dekatnya yang sebagian besar diambil dari “konco-konco” dan dari partai koalisi yang menjadi pendukungnya. Hanya sedikit saja pejabat yang menduduki kursinya karena profesi atau keahlian yang dipunyainya. Ini memperlihatkan sang pemimpin telah nyata-nyata melupakan hakikat sebuah amanah seperti yang telah disabdakan Rasulullah SAW diatas.
Padahal selama ini sering kita dengar ceramah dari para Da’i dan Ustad, bahwa dalam salah satu hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Apabila sebuah amanah (pekerjaan, jabatan, kekuasaan) diberikan kepada orang yang bukan AHLINYA, maka tunggu saja saat kehancurannya”.
Senyatanya, pemimpin yang mendapat amanah untuk memerintah negeri ini, justru memilih para “pembantu” dekatnya yang sebagian besar diambil dari “konco-konco” dan dari partai koalisi yang menjadi pendukungnya. Hanya sedikit saja pejabat yang menduduki kursinya karena profesi atau keahlian yang dipunyainya. Ini memperlihatkan sang pemimpin telah nyata-nyata melupakan hakikat sebuah amanah seperti yang telah disabdakan Rasulullah SAW diatas.
Artinya, walau merupakan sebuah hak prerogatif, namun yang berlaku disini agaknya bukan lagi nurani dan nalar sehat yang berbicara. Yang jadi pertimbangan utama justru hanya sebuah alasan yang “praktis, pragmatis” dan penuh dengan “nuansa politis”. Untuk apa?
Tentu saja keputusan memilih para pembantu itu dibuat untuk memperkuat, memperkokoh dan (kalau bisa) melanggengkan kekuasaan semata.
Lalu apa jadinya? Jadinya ya sebuah lakon bak drama reality show di televisi yang bertema utama: ABS, (Asal Bos Senang). Disinilah tujuan menghalalkan segala cara dipertontonkan.
Anda ingin bukti? Beberapa waktu yang lalu, hampir setiap hari kita disuguhi berita di media cetak dan elektronik tentang kisah perseteruan antara “Cecak dan Buaya”. Sebuah kisah penuh intrik dan rekayasa, dimana para penguasa dibidang hukum saling tangkap dan baku tuduh.
Lalu hiruk pikuk tentang partai yang terbelah pendapatnya, antara koalisi atau oposisi. Juga berita hangat lain: debat antar pejabat tentang perlu tidaknya 'remunerasi' dan menaikkan gaji (mereka sendiri).
Tentu saja keputusan memilih para pembantu itu dibuat untuk memperkuat, memperkokoh dan (kalau bisa) melanggengkan kekuasaan semata.
Lalu apa jadinya? Jadinya ya sebuah lakon bak drama reality show di televisi yang bertema utama: ABS, (Asal Bos Senang). Disinilah tujuan menghalalkan segala cara dipertontonkan.
Anda ingin bukti? Beberapa waktu yang lalu, hampir setiap hari kita disuguhi berita di media cetak dan elektronik tentang kisah perseteruan antara “Cecak dan Buaya”. Sebuah kisah penuh intrik dan rekayasa, dimana para penguasa dibidang hukum saling tangkap dan baku tuduh.
Lalu hiruk pikuk tentang partai yang terbelah pendapatnya, antara koalisi atau oposisi. Juga berita hangat lain: debat antar pejabat tentang perlu tidaknya 'remunerasi' dan menaikkan gaji (mereka sendiri).
Astagfirullah. Naik Gaji? Padahal baru beberapa hari para pejabat itu dilantik dan (tentu saja) belum tampak bekerja dengan sepenuhnya. Alangkah TEGA. Apapun alasannya.
Berita-berita itu bagi rakyat menjadi kisah yang sungguh aneh tapi nyata, karena seolah para petinggi negeri ini sama sekali tak punya sense of crisis.
Tak punya rasa keadilan. Tak ada lagi rasa malu dan sungkan pada rakyat yang notabene telah rela memilih mereka. Rakyat yang masih berkutat dengan bencana, rakyat yang makin melarat. Rakyat yang makin menderita karena harga-harga kebutuhan pokok (dengan seribu satu alasan) dinaikkan secara tidak semena-mena. Rakyat miskin yang (bahkan) nyaris tak bergaji!
Kemudian kita juga dibuat terpana dengan hingar bingar kasus sebuah Bank yang ‘sukses’ memaksa para penguasa dibidang moneter di Republik ini untuk menggelontorkan uang Negara sampai 6,7 trilyun!
Jumlah uang yang sampai saat ini tidak diketahui dimana gerangan rimbanya berada. Walau sebuah Pansus di DPR telah dibentuk dan telah berhasil menyodorkan sebuah kesimpulan, namun sampai detik ini tak pernah ada putusan dan ‘kata akhir’. Kalaupun ada hanyalah merupakan sebuah kesimpulan yang mengambang. Atau sengaja diambangkan. Agaknya kasus inipun lambat laun akan melemah dan lenyap ditelan angin seiring berjalannya waktu.
Dan berita seru yang terbaru selain perburuan (yang dituduh) para teroris adalah kisah perseteruan para bintang ‘buaya’ gara-gara “MARKUS” (MAkelaR KasUS) yang diduga mampu menyulap bin menilep uang setoran pajak dalam jumlah milyaran rupiah.
Berita-berita itu bagi rakyat menjadi kisah yang sungguh aneh tapi nyata, karena seolah para petinggi negeri ini sama sekali tak punya sense of crisis.
Tak punya rasa keadilan. Tak ada lagi rasa malu dan sungkan pada rakyat yang notabene telah rela memilih mereka. Rakyat yang masih berkutat dengan bencana, rakyat yang makin melarat. Rakyat yang makin menderita karena harga-harga kebutuhan pokok (dengan seribu satu alasan) dinaikkan secara tidak semena-mena. Rakyat miskin yang (bahkan) nyaris tak bergaji!
Kemudian kita juga dibuat terpana dengan hingar bingar kasus sebuah Bank yang ‘sukses’ memaksa para penguasa dibidang moneter di Republik ini untuk menggelontorkan uang Negara sampai 6,7 trilyun!
Jumlah uang yang sampai saat ini tidak diketahui dimana gerangan rimbanya berada. Walau sebuah Pansus di DPR telah dibentuk dan telah berhasil menyodorkan sebuah kesimpulan, namun sampai detik ini tak pernah ada putusan dan ‘kata akhir’. Kalaupun ada hanyalah merupakan sebuah kesimpulan yang mengambang. Atau sengaja diambangkan. Agaknya kasus inipun lambat laun akan melemah dan lenyap ditelan angin seiring berjalannya waktu.
Dan berita seru yang terbaru selain perburuan (yang dituduh) para teroris adalah kisah perseteruan para bintang ‘buaya’ gara-gara “MARKUS” (MAkelaR KasUS) yang diduga mampu menyulap bin menilep uang setoran pajak dalam jumlah milyaran rupiah.
Astagfirullah (sekali lagi)…….APA KATA DUNIA?
Selagi penguasa getol menyerukan agar rakyat (dari para petani, pegawai, bahkan pensiunan sampai pengusaha dan para cukong) tak terkecuali harus membayar pajak, ternyata disisi lain oknum petugas pajaknya justru getol menggerogoti dan menilep uang setoran pajak. Ironis sekali.
Tentu wajar saja kalau rakyat dan masyarakat ramai kemudian bertanya dimana gerangan sesungguhnya hati nurani mereka: para pejabat dan penguasa negeri ini.
Ah, QUO VADIS , akan dibawa kemanakah kau, wahai negeriku tercinta?
Atau mari kita ajak rakyat jelata berdoa:
“Ya Allah, Ya Rabb, Sang Maha Penguasa atas segala, kembalikanlah nurani para pemimpin kami ketempatnya semula, sehingga mereka punya mata hati lagi, sehingga mereka bisa mendengar tangisan dan melihat penderitaan rakyatnya. Sesungguhnyalah kami yakin azab Mu sangatlah pedih, azab yang akan Kau timpakan pada sebuah negeri yang para pemimpinnya berbuat durhaka kepada rakyatnya”
Tentu wajar saja kalau rakyat dan masyarakat ramai kemudian bertanya dimana gerangan sesungguhnya hati nurani mereka: para pejabat dan penguasa negeri ini.
Ah, QUO VADIS , akan dibawa kemanakah kau, wahai negeriku tercinta?
Atau mari kita ajak rakyat jelata berdoa:
“Ya Allah, Ya Rabb, Sang Maha Penguasa atas segala, kembalikanlah nurani para pemimpin kami ketempatnya semula, sehingga mereka punya mata hati lagi, sehingga mereka bisa mendengar tangisan dan melihat penderitaan rakyatnya. Sesungguhnyalah kami yakin azab Mu sangatlah pedih, azab yang akan Kau timpakan pada sebuah negeri yang para pemimpinnya berbuat durhaka kepada rakyatnya”
(Cuplikan dari sajak “doa rakyat yang tertindas” oleh mastonie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar