Makam Letjen TNI (Purn) H. Soepardjo Roestam
“Wa maa kanaa li
nafsinan tamuuta illaa bi idznillaahi kitaabam mu-ajjalaw…….”
(QS. 3 : 145)
(Dan tidak akan
mati sesuatu yang bernyawa melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang
telah ditentukan…..).
“Kullu nafsin
dzaa-iqatul mauti….” (QS. 3 : 185)
(Tiap-tiap jiwa
akan merasakan mati………)
Itulah cuplikan dua ayat didalam
kitab suci Al-Qur’an yang merupakan firman Allah SWT tentang kematian.
Orang Jawa mengenal tembang Kinanti yang antara lain pupuhnya berbunyi:
Ana tangis layu-layu
Tangise wong wedi mati
Tangise alara-lara
Maras atine yen mati
Gedhomgana kencengana
Yen pesthi tan wurung mati
(Serat Centhini, Jilid VI: 367)
Makna secara keseluruhan adalah bahwa meskipun ditangisi, walaupun disimpan
dalam gedung rapat-rapat, kalau ajal seseorang sudah tiba, maka kematian tetap tak akan dapat dihindari.
Sejatinyalah segala sesuatu yang
hidup pasti akan mati. Itulah kodrat Illahi Rabbi. Sebagai hamba Allah yang
tawakal, kita tentu tak akan khilaf bahwa mati hidupnya seorang manusia
sepenuhnya adalah hak dan rahasia yang hanya dimiliki Allah
SWT. Kitapun harus senantiasa bersikap ikhlas. Tak dimanapun, tak kapanpun, tak
siapapun, malaikat maut pasti akan datang menjemput.
Dalam
tulisan ini, saya hanya ingin berbagi cerita tentang manusia yang pada suatu
saat pasti akan berjumpa dengan kematian. Kadang datangnya sang malaikat maut
begitu mendadak. Tanpa tanda apapun.
Dalam rentang
waktu tak sampai dua bulan, teman dekat, kolega, sahabat saya telah
‘bertumbangan’.
Dibulan
suci Ramadhan, seorang teman mendadak wafat. Almarhum adalah teman sekantor,
bahkan pernah satu ruangan. Tetangga satu komplek (dalam satu Blok tapi lain
RT). Orang -asli- Lampung yang santun dan lemah lembut tutur sapanya (walaupun bagi
yang tidak terlalu akrab ia seperti sosok yang sinis). Saya mengenalnya sebagai
orang yang tekun dalam bekerja. Tak banyak bicara. Kalau istilah iklannya: “Talk
less do more”. Ia juga tak suka ghibah
“ngerumpi” membicarakan kejelekan
orang. Perjumpaan saya terakhir dengannya adalah ketika terjadi gerhana bulan
total dan kita bersama-sama melaksanakan sholat sunah Gerhana di masjid
kompleks.
Entah
mendapat firasat apa, pada tengah malam hari itu (selain memotret gerhana bulan) saya juga sempat
mengambil foto close-up wajahnya. Teman saya itu tampak renta,
rapuh dan letih. Diujung pagi hari berikutnya sesudah makan sahur dan bersiap
mengambil air wudhu untuk sholat subuh, ia terjatuh di kamar mandi. (Selama ini
meskipun jalannya tertatih-tatih, ia selalu memaksakan diri pergi ke masjid
untuk melakukan sholat wajib lima
waktu). Tubuhnya yang lemah langsung dilarikan ke RS Haji Pondokgede. Tak
sampai sehari dirawat langsung wafat. Menurut hadits yang pernah saya baca, konon
siapapun yang berpulang dibulan suci Ramadhan, sedang ia dalam keadaan
berpuasa, maka baginya akan langsung dibukakan pintu surga,
Insya Allah. Aamiiin.
Memasuki bulan Oktober, dokter keluarga
yang telah mengenal dan ‘mengobati’ keluarga saya selama hampir 23 tahun lebih,
juga mendadak wafat. Selasa pagi hari dibulan Oktober, ia tiba-tiba pingsan
dikamar mandi. Gula darahnya naik sampai lebih dari 600. Sempat dibawa ke RS
Polri Kramatjati. Tapi malaikat maut menjemputnya pada hari Rabu pukul 15.00
sore.
Dokter
H, adalah seorang wanita Nasrani sederhana yang ramah, lemah lembut tutur
katanya dan sangat santun. Ia adalah dokter umum yang bertangan ‘dingin’.
Senantiasa membesarkan hati pasien, dan melayani dengan hati. Ia
juga tak pernah mempersoalkan perbedaan agama dan
keyakinan para pasiennya.
Itulah yang membuat saya terkesan sejak pertama
kali mengenalnya.
Akan tetapi
(ini yang membuat saya selalu heran) sekalipun beliau adalah seorang dokter senior, ternyata ia sendiri
menderita banyak sekali penyakit. Bagaikan ‘the
Bionic Woman’, dokter H sudah pernah
mengalami berbagai macam operasi. Yang paling ‘sederhana’ adalah operasi
pengangkatan usus buntu. Lalu operasi by
pass jantung yang ‘mereparasi’ nyaris semua (!) arteri jantungnya, karena terkena
aterosklerosis. Konon arterinya sudah
tertutup plak hampir 90 persen. Kemudian juga transplantasi ginjalnya.
Menakjubkan sekali beliau bisa menerima semua kenyataan itu dengan pasrah. Bahkan
setiap menceriterakan ‘kisah’ operasinya, beliau selalu berbicara dari sisi positifnya.
Dan selalu dengan gaya
yang jenaka. Operasi terakhir yang dikisahkannya dengan berapi-api adalah
pemasangan pen baja dipaha kirinya, gara-gara jatuh dari kendaraan umum yang
ditumpanginya. Walaupun dokter H adalah seorang yang hidup berkecukupan dan
mempunyai mobil pribadi, tapi kalau bepergian kemana-mana ia selalu memilih
naik kendaraan umum.
Kepada saya dan
istri dengan ‘bangga’ dipamerkannya foto rontgen tulang paha kirinya yang kini
disambung dengan sebuah pen baja. Betul-betul wanita “berkaki baja” dan memang berhati
baja. Luar biasa.
Beberapa minggu sebelum ia berpulang, saya
dan istri masih sempat membawa anak bungsu saya berobat kepadanya. Anak saya menderita demam tinggi sampai hampir pingsan. Seperti
biasa diagnosenya selalu ‘pas’. Anak saya menderita radang di tenggorokan dan gangguan
disaluran kencing. Beberapa jenis obat diberikannya dan ia berkeras hati tak
mau dibayar! Beberapa hari setelah itu giliran istri saya yang jatuh sakit.
Tidak bisa buang air kecil. Malam-malam saya telpon dokter H. Saya
konsultasikan keadaan istri saya kepadanya. Iapun memberikan beberapa saran. Dan manjur!
Tenyata itu
adalah pembicaraan saya yang terakhir dengannya.
Oleh
karena itu ketika salah seorang perawatnya (yang juga mengenal keluarga saya dengan
baik) memberitahu isteri saya lewat telepon tentang kabar duka cita itu, saya
terpana nyaris tak percaya. Allah SWT ternyata lebih menyukai ‘memanggil’ lebih
dahulu keharibaan Nya, orang-orang yang baik dan luhur budinya.
Saya teringat
sebuah pepatah bangsa Cina :
“Bambu yang lurus akan ditebang lebih dahulu”.
Walaupun saya setuju dengan pepatah dari
Cina itu, (yang artinya orang-orang yang baik budi pekertinya cenderung akan
meninggal lebih dahulu) tapi saya juga
tetap ingat akan sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik
manusia adalah mereka yang panjang umurnya dan baik juga amal perbuatannya” (HR. Tirmidzi).
Alhamdulillah, Menurut
pendapat saya
pribadi, dua
orang kolega saya itu (meskipun
seorang diantaranya adalah non muslim), memenuhi syarat sebagai “sebaik-baik manusia” seperti yang
disabdakan oleh Rasulullah SAW.
Mudah-mudahan
beliau-beliau termasuk dalam golongan manusia yang panjang usianya serta baik
amal perbuatannya. Insya Allah.
Inna lillahi wa
inna ilaihi roji’un.
Semoga Allah SWT
mengampuni segala kekhilafan almarhum dan almarhumah, serta memberikan tempat
yang baik sesuai amal ibadah masing-masing.
Aamiiin.
Pondok Gede, suatu hari ketika hujan tak juga datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar