Suka hati saat bel berbunyi.
Ada satu kenangan yang tentu membekas
dalam ingatan mereka yang pernah bersekolah. Rasanya tidak berlebihan jikalau
dikatakan, bahwa setiap murid selalu akan merasa riang gembira jika bel tanda
pelajaran terakhir sudah usai. Itu tandanya mereka akan segera pulang kerumah.
Saya masih ingat, ketika bel berbunyi,
serentak wajah teman-teman sekelas langsung berubah. Dari wajah tegang, lelah,
bosan (bahkan tak jarang wajah ‘sutris’),
menjadi wajah cerah ceria. Saat untuk pulang kerumah akhirnya tiba.
Mengapa semua anak selalu merasa rindu
pulang kerumah dan selalu menyambut saat itu dengan riang gembira? Ketulusan hati ibu, rasa lapar dan rindu akan
mendapat masakan lezatnya, barangkali alasan utamanya.
Bayangan ibu yang menyambut dengan senyum
manis, dan bayangan masakan lezat dimeja makan, memang merupakan salah satu
sebab murid rindu pulang kerumah. Tidak
heran mengapa waktu sekolah dulu kita sangat menantikan terdengarnya bunyi bel
tanda sekolah usai.
Apakah pernah ada cerita seorang anak
yang tidak mau pulang kerumah sesudah bubaran
sekolah? Rasanya hampir tidak pernah ada.
Mari bandingkan masa sekolah itu dengan
kehidupan kita dialam fana. Sesungguhnyalah kehidupan manusia didunia ini
bersifat sementara saja. Orang Jawa mengenal istilah: “Urip iku sak derma mampir ngombe” . Artinya, hidup hanya sekedar
menumpang minum. Hidup itu tidak akan lama. Tak ada manusia atau mahluk lain
yang akan hidup untuk selamanya. Sebab keabadian hanyalah milik Allah, Tuhan
sang Maha Pencipta.
Hidup ibarat “sekolah” bagi manusia,
mahluk paling mulia yang diciptakan oleh Nya. Di alam fana inilah manusia terus
belajar menimba ilmu apa saja. Nyaris sepanjang hayatnya. Namun perjalanan itu
akan berakhir pada suatu ketika yang tidak satupun mahluk tahu kapan waktu itu
akan tiba.
Kematian, itulah “bel terakhir” bagi
manusia yang pasti akan datang. Kapan saja dimana saja. Tak satupun mahluk tahu
kapan saat itu datang. Karena bel kematian sepenuhnya merupakan hak prerogatif
Allah Swt.
Siapkah kita ‘pulang’
kerumah Sang Maha Pencipta?
Tak bisa dipungkiri, banyak orang yang
merasa takut menghadapi kematian. Mungkin kita termasuk salah satu diantaranya.
Oleh sebab itu sejak dulu sudah banyak kisah dan legenda yang bercerita tentang
bagaimana manusia mencari ‘rahasia’ agar bisa hidup abadi. Bagaimana manusia
berusaha sedapat mungkin menghindar dari kematian. Dengan cara-cara yang
terkadang tidak masuk akal, bahkan menggelikan.
Padahal sebagai manusia yang percaya
terhadap adanya Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta, seharusnya kita juga yakin
akan adanya Malaikat Izroil. Malaikat maut inilah yang diutus oleh Allah Swt
untuk mencabut ‘mandat’ siapa saja yang sudah tiba saat “akhir tugas” nya
didunia. Tak satupun mahluk bisa mengelak dan menghindari kematian. Allah Swt
telah menegaskan dalam salah satu ayat didalam kitab suci Al-Qur’an: “Semua
yang bernyawa akan merasakan mati...” (QS. 3 : 185).
Jadi, sebagai manusia yang beriman dan
taqwa kepada Allah Swt, patutkah kita takut menghadapi datangnya sakaratul
maut? Seharusnya tidak. Sangat naif
kalau kita percaya kepada Allah dan takdirNya, tapi kita takut menghadapi
kematian.
Saya ingatkan sekali lagi, saat mendengar
bel tanda pelajaran sekolah berakhir, kita bersuka cita menyambutnya. Karena
kita yakin akan pulang kerumah bertemu ibu yang sangat menyayangi dan pasti
menyiapkan makanan lezat untuk anak-anaknya.
Lalu mengapa ketika “bel kematian”
berdentang, kita takut mendengarnya? Kita sering sekali mengucap lafadz “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”
ketika ada orang meninggal dunia. Terjemah bebasnya adalah “sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali
kepada Nya”. Oleh sebab itu, mati dapat diartikan bahwa kita akan kembali ketempat asal dan
bertemu dengan Allah sang Maha Pencipta. Sudah pasti Allah Swt akan menyambut
hamba Nya dengan kasih sayang dan siap pula memberikan tempat yang terbaik
disisi Nya. Namun dengan "syarat dan ketentuan" yang berlaku.
Yakinlah, bahwa kasih sayang Allah
Swt kepada mahlukNya pasti jauh
lebih besar dibandingkan dengan cinta kasih seorang ibu.
Masih terbayang dalam kenangan, kalau kita
nakal di sekolah dan mendapat rapor yang “kebakaran” karena lebih banyak nilai
merahnya, maka Ibu akan marah besar!
Oleh karena itu kita akan berusaha sedapat mungkin tidak nakal dan mendapat
nilai bagus disekolah. Itu adalah cara untuk menghindari kemarahan Ibu atau
orang tua kita.
Demikian pula seharusnya kita berpikir:
mungkin kita takut menghadap kepada Nya karena merasa banyak dosa. Sehingga
takut menghadapi maut yang akan datang tanpa permisi. Kita merasa selama ini
banyak melanggar aturan Nya dan belum siap menebusnya dengan amal baik yang
cukup.
Lalu apa yang harus kita lakukan?
Sederhana saja sebenarnya. Siapkan diri anda untuk menghadapi saat kematian
tiba. Bagaimana caranya? Apakah jangan nakal dan berusaha dapat nilai bagus disekolah?
Ya! Kira-kira seperti itu, tapi bukaaaaan.
Kalimat "jangan nakal" semestinya kita artikan sebagai
hidup yang harus sesuai dengan aturan yang dibuat oleh Nya. Nilai bagus dirapor
sekolah itu artinya semasa hidup didunia kita harus berusaha berbuat baik dan tidak neko-neko. Dengan demikian maka malaikat
akan mencatat amal baik kita lebih banyak dibandingkan dengan dosa kita.
Itu saja.
Jadi sudah siapkah kita “dijemput” kapan
saja tanpa rasa takut?
Insya Allah. Jika anda selalu ingat, betapa
senangnya bel berbunyi tanda sekolah usai, seperti itu pulalah rasanya jika bel
kematian anda nantinya berdentang. Suka ria karena akan bertemu Allah Swt yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang, melebihi kasih sayang dari ibu siapapun juga.
Jakarta, medio Oktober 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar