Tulisan lepas:
Released by mastonie on Wednesday, January 18, 2012 at 11:34pm
(Agar supaya tidak menjadi bahan pertanyaan, yang saya maksudkan dengan kata “moto” diatas bukanlah bahasa Jawa untuk memotret, atau istilah lain dari penyedap rasa -apakah anda ingat “Moto tjap Mobil” yang beken di tahun 60an?-.
Moto yang saya maksud adalah kata dalam bahasa Indonesia yang merupakan serapan dari kata bahasa Inggris ‘motto’ yang artinya semboyan).
Contoh sebuah moto
Dalam buku “Tesaurus Bahasa Indonesia”, kata ‘moto’ diterangkan sebagai, n cogan, semboyan atau slogan (hal. 418). Akan tetapi didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘moto’ itu tetap ditulis seperti dalam kata bahasa Inggris, yaitu ‘motto’ (dengan dua huruf ‘t’, hal. 593).
Adapun keterangan yang dicantumkan didalam KBBI itu adalah: n 1 kalimat, frase, atau kata yang digunakan sebagai semboyan, pedoman atau prinsip spt “berani karena benar” 2 kalimat (frase, kata) yg tertera diatas sebuah karangan, yg secara singkat menunjukkan pendirian atau tujuan pengarang.
Meskipun saya lebih senang menuliskannya dengan ‘moto’, tapi saya lebih cenderung memilih keterangan yang ada pada buku KBBI, baik yang nomor 1 maupun nomor 2.
Dalam kolom “quote” (kutipan) di akun jejaring social Facebook, saya menuliskan moto pribadi.
Bunyinya begini:
“If you cannot be the best, be the different one”
“Jika anda tidak bisa jadi (orang) yang terbaik, jadilah (orang) yang berbeda”.
Bukan karena saya ingin jumawa, atau sok gagah dan sok mentereng.
Anda pasti tahu jejaring sosial Facebook sesungguhnya memang sebuah jejaring yang go international. Jadi kalau moto saya itu dibaca oleh orang yang bukan orang Indonesia, setidaknya dia tahu maksudnya.
Begitu.
Lingkungan yang membentuk kepribadian
Harus saya akui bahwa jauh didalam hati kecil saya tersembunyi perasaan inferior (Inggris) atau minderwardigheids complex (Belanda).
Atau dalam pengertian yang umum disebut perasaan rendah diri. Perasaan itu mungkin tumbuh sejak saya masih balita.
Saya berasal dari keluarga sangat sederhana. Kedua orang tua saya sama-sama bekerja mencari nafkah. Jadi saya lebih banyak diasuh oleh simbok (pembantu), oleh karena itu mungkin agak kurang terurus.
Badan saya kurus, kulit hitam dan rambut yang ‘njeginggis’. Apa itu? Agak susah mencari padanan kata bahasa Jawa ini dengan bahasa Indonesia. Apalagi dengan bahasa asing. Intinya rambut saya tumbuh tidak baguslah.
Oleh sebab itu saya selalu merasa rendah diri jika harus bermain dengan teman-teman sebaya yang rata-rata lebih gemuk dan (tampaknya) juga lebih sehat dan kuat.
Dalam melakukan dolanan (permainan anak-anak) pun saya jarang sekali bisa menang.
Yang paling saya benci adalah permainan “kasti” (permainan beregu mirip ‘softball’ dengan satu pemukul dan satu bola kecil).
Saya selalu jadi titik lemah bagi regu karena tidak pandai memukul bola dan kurang kencang berlari. Saya juga trauma dengan rasa sakit akibat kena lemparan bola. Walaupun bolanya kecil tapi apabila dilempar dengan kekuatan penuh, kalau kena bagian tubuh sakitnya luar biasa.
Itu rekam jejak saya dalam masalah fisik.
Tapi dalam soal mata pelajaran disekolah, yang berarti non-fisik, saya tak pernah mau kalah.
Prestasi dalam belajar itu mungkin kompensasi saya yang terpacu karena tak pernah bisa menang dalam urusan ‘fisik’.
Boleh dikata saya biasanya hanya menang otak tapi selalu kalah otot.
Itu sebabnya teman-teman sekelas dari SR sampai SMP menjuluki saya dengan nama ‘Kancil’. Mungkin karena mereka menganggap saya banyak akal, walaupun tubuh saya kecil. Padahal mereka juga tahu saya tidak bisa lari kencang.
Julukan itu membekas dalam kalbu seumur hidup saya.
Pengalaman traumatis dalam hidup itulah yang membuat saya banyak belajar.
Bahwa dalam hidup bermasyarakat, tidak selamanya orang bisa menjadi yang terbaik. Dalam bidang apapun. Oleh karena itu agar tidak menjadi pecundang terus menerus, anda harus menjadi seseorang yang “berbeda”.
Setahu saya, (tentu berdasar pengalaman saya pribadi) dengan menjadi orang yang berbeda itu, setidaknya anda masih akan diperhatikan oleh orang lain.
Namun berbeda itu juga tidak berarti harus berbuat aeng-aeng, aneh atau berperilaku ganjil.
Kata paling tepat untuk tampil beda mungkin adalah yang menyangkut kepribadian (personality) seseorang.
Kepribadian itu menyangkut aspek sifat alamiah (bakat) dan aspek lainnya yang bisa dipelajari.
Manusia pada galibnya adalah mahluk yang gemar bergaul atau bersosialisasi. Itu sebabnya disebut sebagai mahluk sosial.
Dalam pergaulan (dengan siapapun) manusia mempelajari banyak hal. Oleh sebab itu pergaulan dan lingkungan termasuk sesuatu yang akan membentuk kepribadian seorang manusia.
Pasti banyak yang tidak asing dengan cerita atau dongeng tentang ‘Tarzan”.
Tentu yang saya maksud bukan Tarsan pelawak Srimulat (yang nama aslinya Toto Mulyadi). Akan tetapi Tarzan tokoh manusia yang akrab dengan binatang liar di rimba raya.
Versi asli dongeng Tarzan mengisahkan seorang bayi manusia yang tertinggal dalam sebuah hutan rimba yang ‘gung liwang liwung’. Kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan pesawat terbang dihutan yang hanya dihuni binatang liar tersebut.
Bayi manusia itu akhirnya ditemukan dan dipelihara oleh sekawanan monyet (atau gorila).
Sejak bayi Tarzan bergaul dengan mahluk yang lebih banyak berbicara dengan bahasa isyarat. Oleh sebab itu ia juga hanya mampu berkomunikasi dengan bahasa isyarat kaum monyet. Tarzan tumbuh besar diantara bermacam binatang buas, sehingga ia mengerti pula bahasa tubuh para binatang. Itu sebabnya ia kemudian menjadi “Sang Raja Rimba”.
Semua binatang penghuni hutan seolah takluk dan tunduk kepadanya.
Maklum bagaimanapun dia adalah seorang anak manusia. Otaknya jauh lebih sempurna dari otak binatang.
Itulah sebuah contoh yang saya maksudkan. Walau mungkin terlalu ekstrim. Seorang anak manusia yang tumbuh besar dilingkungan binatang, maka ia akan berperilaku seperti binatang pula.
Dengan kata lain, lingkungan sekitar akan membentuk kepribadian seorang manusia.
Ada orang bijak bilang: “Tunjukkan lingkunganmu, maka aku akan tahu siapa engkau”.
Seorang anak Kiai kalau setiap hari bergaul dengan preman, kemungkinan sangat besar dia akan menjadi preman juga. Demikian pula sebaliknya.
Walaupun tentu banyak juga perkecualiannya.
Apakah ‘moto’ itu perlu?
Menurut pendapat pribadi saya, moto atau semboyan yang dipakai oleh seseorang itu kedudukannya berada sedikit dibawah falsafah (hidup).
Bagi saya, semboyan hanyalah sebuah pedoman atau prinsip yang saya pakai untuk sementara waktu saja. Mungkin saja akan berubah suatu waktu. Siapa tahu?
Kalau begitu mengapa saya harus memakai moto atau semboyan?
Tentu karena sangat maklum potensi saya sendiri berdasarkan pengalaman hidup yang selama ini saya jalani.
Setidaknya saya tahu bahwa secara fisik saya tak pernah menang. Namun secara non-fisik (emosi ataupun intelejensia), belum tentu.
Oleh karena itu sangat baik jika seseorang mengetahui dengan pasti kapasitasnya sendiri.
Ia akan menjadi seorang yang lebih arif. Karena tahu kelemahan dan kekuatan sendiri. Dengan mengetahui hal tersebut, dia bisa menentukan langkah hidupnya.
Sayapun begitu pula. Sadar sepenuhnya bahwa saya tidak akan menjadi seorang yang istimewa karena keterbatasan fisik. Jadi saya harus menampilkan sisi lebih atau kelebihan saya yang (mungkin saja) tidak dimiliki orang lain.
Dan ternyata saya bisa, ini saya syukuri benar.
Kemampuan menyampaikan pikiran dalam bentuk tulisan tidak dipunyai oleh setiap orang.
Menyadari hal tersebut sayapun nekat terus menulis. Tentang apa saja.
Saya berusaha ‘merekam’ (dalam benak) hal-hal yang saya saksikan untuk kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Pertama kali tampak agak susah, lama kelamaan menjadi mudah.
Sebagai penulis pemula memang tidak banyak yang saya harapkan. Jangankan bersaing dengan penulis kondang. Mengharap tulisan saya dibaca orang saja sudah merupakan hal yang luar biasa.
Sejak masih duduk dibangku sekolah menengah atas, kebetulan saya masuk grup teater. Disitu saya berlatih main drama, deklamasi dan menulis puisi. Saya bahkan pernah menjadi juara deklamasi tingkat pelajar dan mahasiswa se Kodya Semarang tiga tahun berturutan.
Tapi menulis puisi ternyata tidak mudah. Maklum seiring dengan usia, puisi yang saya tulis waktu itu kebanyakan bernada cinta remaja. Lalu saya beralih menulis prosa dan esai.
Ternyata lebih mudah menulis esai. Dan ini yang terus saya tekuni, entah sampai kapan.
Saya makin rajin menulis ketika mendapat kesempatan membantu menulis di buletin kepramukaan. Sampai kemudian dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi disebuah Buletin intern perkumpulan haji.
Seperti yang sudah saya utarakan diawal tulisan, untuk memperkuat motivasi menulis itulah saya akhirnya membuat sebuah ‘moto’.
Rangkaian kalimat dalam moto itu keluar begitu saja, tanpa mengutip dari manapun:
“Jika anda tidak bisa jadi (orang) yang terbaik, jadilah (orang) yang berbeda”.
Yang saya terjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi:
“If you cannot be the best, be the different one”
Kenapa harus repot-repot saya terjemahkan?
Ya, karena moto ini memang saya pajang pertama kali di jejaring sosial Facebook, yang nyaris dibaca oleh orang sedunia.
Sebenarnya kalimat itu adalah gambaran seorang yang merasa rendah diri.
Karena merasa tak akan pernah jadi yang terbaik, maka saya harus berani tampil beda.
Dan itu yang saya lakukan dalam menulis.
Sedapat mungkin saya berusaha menulis dengan gaya sendiri yang harus berbeda dengan gaya menulis orang lain.
Tapi lucunya sampai sekarang saya juga belum tahu, apakah saya sudah tampil beda atau belum. Karena tentu orang lain yang bisa menilainya.
Sekurang-kurangnya saya sudah punya moto bukan?
Dan ternyata moto ini bisa saya jadikan pegangan untuk berjalan di “trek” yang benar.
Jadi jangan pernah ragu untuk membuat moto (slogan, semboyan) bagi diri anda sendiri.
Mas Koes ...saya lebih melihatnya sebagai curhat untuk tulisan mas Koes ini, dan itu sah2 saja karena pada dasarnya kita ingin menyampaikan apapun yg kita pikirkan kepada orang lain.
BalasHapusTapi tentu tidak setiap orang siap mendengar kita curhat, untuk itu media yg paling pas memang menulis.Sehingga keinginan kita untuk 'curhat' terlampiaskan dan orang lain bisa mengetahui apa yg ada dalam pikiran kita, ketika dia membaca tulisan kita.Ini memerlukan kejujuran, dan itu yg dilakukan mas Koes...akupun demikian mas, sebodo amat orang mau bilang apa,yg penting kita bisa menyampaikan apa yg kita ingin sampaikan,karena kita berharap itu ada manfaatnya bagi orang lain, bukan begitu mas ?
JengKoes...matur nuwun masih suka ngintip saya...eh...blog saya nding....Memang betuuuul, sy mendasarkan catatan itu dengan kish hidup sy sendiri, karena tdk mungkin kan pakai latar belakang kisah hidup jengKoes, misalnya...hahahahaha....apa kata pak Assisten nanti. Kalau dibilang 'curhat', yaaaaaa.....mungkin ada benarnya. api sy bukan curhat karena gak naik gaji tujuh tahun lho ya? Itu mah cengeng......Apapun yg sy tulis, harapan sy bisa dibaca oleh orang lain, dan dari situ orang lain bisa mengambil manfaatnya..begitu.
BalasHapusSekali lagi matur nuwun. Tapi kenapa belum isi buku tamu saya ya? Apa sudah?
Buku tamu sudah mengisi mungkin termasuk yang pertama lo mas....coba dipirsani lagi, apa setiap bertamu ke blognya mas Koes harus ngisi buku tamu lagi ?, nanti namaku memenuhi buku tamu mas Koes lo....
Hapussiapa sih yang tulis indonesia motto ?
Hapus