Tulisan bersambung: (Bagian Kedua, selesai)
Apakah umat Islam (masih) terbanyak (jumlahnya) di Indonesia?
Pengajian Majelis Taklim
Kita juga maklum para pengkhotbah (ada yang menyebut dengan penginjil) lebih banyak memberi daripada meminta. Karena mereka memang mempunyai dukungan dana sangat kuat. Termasuk bantuan keuangan dari luar negeri. Baik yang secara terang-terangan ataupun yang (lebih banyak) tersembunyi.
Betapa kuat atau besarnya dukungan dana bisa terlihat dalam contoh berikut:
Untuk sebuah pertemuan kecil dihari Minggu (Zondag school, sekolah Minggu) misalnya, mereka sanggup memberikan bermacam barang yang menarik. Terutama bagi anak-anak, generasi muda dan manula.
Bagaimana dengan para ulama kita? Apakah di TPA (Tempat Pendidikan Agama) yang ada dia kampung-kampung, atau tempat belajar mengaji yang lain bisa meniru hal tersebut?
Jawabannya hampir pasti: TIDAK. Bahkan banyak TPA yang muridnya harus membayar. Karena apa? Ya karena pendakwah kita tak punya cukup dana untuk bisa ber’promosi’ dengan gaya para penginjil, pendeta, pastur atau misionaris itu.
Ada ceritera kurang mengenakkan yang berasal dari beberapa pengurus yayasan ataupun ormas yang berlandaskan agama Islam. Konon apabila mereka mendapat bantuan dana dari luar negeri, maka dana ini akan diusut oleh pihak berwajib. Alasannya? Dikhawatirkan dana tersebut akan dipakai untuk kegiatan mendukung terorisme. Sebuah indikasi bahwa di Indonesia terorisme masih selalu diidentikkan dengan (orang) Islam.
Sedangkan dana yang mengalir dari luar negeri untuk agama non Islam seolah tak terdeteksi.
Ini jelas perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh pihak berwenang.
Faktor kedua: pelayanan. Tentang kata “pelayanan” ini marilah kita iri pada para pengkhotbah dan penginjil. Mereka secara nyata menyebut dirinya sebagai pelayan atau gembala umat. Mereka betul-betul menempatkan diri sebagai orang yang melayani, bukan sebaliknya.
Mereka jadi penggembala dalam arti kiasan dan sesungguhnya. Terbukti mereka siap menuntun dan menunjukkan jalan sehingga umatnya tidak salah arah.
Mereka jadi penggembala dalam arti kiasan dan sesungguhnya. Terbukti mereka siap menuntun dan menunjukkan jalan sehingga umatnya tidak salah arah.
Para Pendeta atau Pastur tahu dengan persis jumlah jemaat yang ada di ‘wilayah gembala’nya. Mereka juga tahu siapa anggota jemaat paling miskin dan paling kaya diantaranya, sehingga bisa mengatur pemberian bantuan.
Begitu seriusnya mereka melayani. Apabila ada anggota jemaat mereka yang sakit, mereka selalu akan datang berkunjung kerumah atau kerumah sakit. Walaupun hanya untuk berdoa bersama bagi kesembuhannya. Secara psikologis, perhatian yang diberikan itu bisa sangat membantu kesembuhan orang yang sedang sakit.
Nah, tentang hal ini, apakah para alim ulama Islam berkenan untuk introspeksi?
Ada berapa banyak pemimpin majelis taklim sebuah masjid yang TAHU berapa jumlah jemaah yang tergabung didalam majelisnya? Mengapa saya pilih seorang pemimpin majelis taklim? Karena biasanya seorang pemimpin majelis taklim dianggap sebagai seorang Kiai, tokoh panutan, Ustad alias guru agama, bahkan da’i sekaligus!
Tahukah pak Kiai siapa anggota majelisnya yang kaya sehingga bisa diminta sedekah atau infaknya?
Tahukah ia siapa anggota yang termasuk fakir miskin dan hidup kekurangan sehingga perlu diberi sedekah?
Walau tidak semua, yang justru sering kita jumpai adalah sikap acuh tak acuh dari para pimpinan majelis taklim.
Yang penting pengajian dan dakwah dimasjidnya berjalan lancar. Itu saja.
Kadang bahkan (mohon maaf beribu maaf) ada oknum pengurus majelis taklim yang malah menggantungkan hidupnya dari ‘penghasilan’ masjid. Dimana uang yang didapat (justru) dari sumbangan para jemaah.
Meskipun hal ini juga terjadi pada beberapa pendeta (Kristen) yang juga digaji dari hasil donatur umatnya.
Kalau ada jemaah majelis yang sakit atau tertimpa musibah, apakah pak Kiai dan para anggota majelis taklim berkenan menengoknya? Atau (setidaknya) membacakan doa bagi kesembuhannya atau bahkan memberikan sekedar bantuan?
Hal-hal kecil yang tampak remeh dan sederhana seperti itu mempunyai dampak psikologis yang sangat besar bagi umat atau jemaahnya.
Ia merasa dilindungi dan diperhatikan. Ini bisa mempertebal iman.
Oleh karena itu jangan heran kalau kemudian muncul Kiai yang berani mengaku sebagai Nabi atau Rasul baru. Tidak lain karena mereka secara finansial cukup kaya dan mau memberi bantuan kepada umatnya yang membutuhkan. Lalu umat yang merasa kebutuhannya tercukupi dan merasa terlindungi kemudian memuja pak Kiai seperti seorang Rasul atau Nabi.
Intinya sederhana saja. Pelayanan yang dituntut oleh umat sebenarnya bukan hanya pelayanan rohani dan jasmani saja, tapi juga (kalau bisa) pelayanan ‘moril dan materiil’.
Secara umum gambaran tentang kekurangan dana yang selalu menimpa umat Islam sebetulnya mudah diatasi. Dengan catatan apabila ajaran agama Islam dipatuhi secara konsekwen. Disamping zakat yang memang salah satu rukun Islam, ajaran yang menyatakan bahwa 2,5 % dari pendapatan adalah hak kaum duafa, adalah sunatullah. Keduanya merupakan kewajiban bagi semua pemeluk agama Islam, utamanya bagi mereka yang berlebih hartanya. Apabila kedua ajaran agama tersebut dijalankan dengan baik dan benar, Insya Allah tak ada kesulitan menggalang dana.
Faktor ketiga: penampilan atau penyajian. Kalau diibaratkan sebuah toko, maka ‘showroom’ dan lay out tokonya harus bisa menarik pelanggan.
Bukankah ada pepatah “cinta itu datang dari mata turun kehati”. Itu menyangkut penampilan.
Para Ustad dan da’i diharapkan untuk tampil modis, agar menarik minat jemaah untuk melihat dan mendengar tausiahnya. Para da’i muda kelihatannya sudah faham trik itu.
Mereka selalu tampil dengan busana muslim yang sangat menarik.
Mereka selalu tampil dengan busana muslim yang sangat menarik.
Lalu bagaimana dengan penyajian? Sejauh ini apakah para ulama Islam sudah merasa yakin bahwa Islam secara teori dan praktek sudah disajikan secara “baik dan benar”? Apakah Islam dinegeri yang mengakui beragam agama dan keyakinan ini sudah disajikan dengan mengikuti arus perkembangan jaman? Sebab penyajian yang ‘itu-itu’ saja akan membosankan umat. Padahal kita tahu bahwa sejak jaman Rasulullah SAW hingga saat ini, jaman sudah berubah entah berapa ratus derajad.
Saya berpendapat Rasulullah Saw tidak akan berkeberatan dengan sajian Islam yang mengikuti perkembangan jaman. Kemajuan teknologi informasi bisa mendukung hal ini.
Misalnya dakwah yang menggunakan layar proyeksi dengan sound system yang modern. Atau dakwah melalui siaran media elektronika (televisi) yang dikemas menjadi tontonan yang menghibur. Jangan sampai kalah dengan siaran sinetron 'kacangan' yang justru mewabah.
Pengajaran materi agama (termasuk belajar membaca kitab suci Al-Qur’an) dengan sistem audio visual yang bagus biasanya lebih menarik minat para jemaah.
Pengajian pun mungkin bisa diselenggarakan secara lebih modern. Misalnya dikemas bersama dengan pentas seni yang tidak berlawanan dengan ajaran agama.
Semua itu dengan tujuan menarik minat, yang bisa mendatangkan lebih banyak jemaah.
Seperti ayat yang saya kutip diawal tulisan ini, Allah SWT sendiri telah menjamin bahwa agama disisiNya adalah Islam. Dan bahwa (agama) Islam adalah “rohmatan lil alamin”, agama yang merupakan rahmat bagi segenap (penghuni) alam semesta.
Teror bom mobil
Nah, saat ini bukan hanya di Indonesia, bahkan negara-negara lain didunia banyak yang menyangsikan bahwa Islam adalah rahmat bagi alam semesta. Tentu berkaitan dengan tuduhan terorisme yang selalu dikaitkan dengan (agama) Islam. Walaupun sesungguhnya siapa yang dikategorikan sebagai teroris itu juga bisa diperdebatkan. Tergantung dari sudut pandang mana kita berpijak. Mengapa hanya Islam (dan negara Islam) yang selalu dikaitkan dengan “teror”? Kenapa bukan Israel atau Amerika Serikat yang jelas sering sekali ikut campur tangan urusan negara lain? Isu tentang terorisme itu memang sengaja ditiupkan oleh kedua negara Adikuasa itu dibantu oleh negara-negara sekutu (antek?) nya.
Memang benar, para teroris (seperti yang dituduhkan oleh AS dan Israel) mengaku menjalankan misinya sebagai perwujudan dari ajaran agama Islam. Namun sesungguhnya itu adalah pernyataan yang tidak selalu benar. Bahkan lebih banyak merusak citra atau penampilan Islam dimata umat maupun masyarakat non muslim lainnya.
Dan memang itulah sebenarnya tujuan utamanya: mencegah Islam berkembang luas, maju dan menguasai dunia.
Teroris versi Amerika
Sejatinya itulah hal paling mengganggu yang perlu dibetulkan. Setidaknya dikembalikan secara proporsional sesuai akidah agama Islam yang murni dan sebenar-benarnya. Maklum kadangkala umat Islam sendiri justru sangat susah bersatu. Contoh paling aktual adalah antara Irak dan Iran, dua negara Islam yang tidak pernah akur. Hanya gara-gara kedua negara menganut Islam dengan mazhab yang berbeda. Di Indonesia pun aliran Sunni (Ahklus sunnah wal jama’ah) dan Syi’ah tidak pernah akur, apalagi dengan mazhab baru yang menyebut dirinya Ahmadiyah.
Harus kita akui pula bahwa yang dituduh sebagai teroris di Indonesia ternyata adalah pengikut Islam garis keras (radikal).
Mereka konon rata-rata belajar ‘terorisme’ dari pakarnya di Afghanistan.
Jadi apa yang perlu dilakukan?
Sekaranglah saatnya para ulama dan da’i (khususnya di Indonesia) harus bertindak.
Kini waktunya mengembalikan citra (agama) Islam kepenampilan aslinya: Islam sebagai agama yang penuh rahmat. Islam sebagai agama terbaik disisi Allah dan agama yang tak pernah ketinggalan jaman. Selama jaman yang dimaksud bisa dijaga agar tidak melenceng dari ajaran agama Islam.
Agama (apa saja) memang harus bisa beradaptasi dengan lingkungan dan jaman.
Jurus adaptasi itulah yang dahulu kala dipraktekkan para wali yang tenar dengan nama “Wali Songo”. Mereka tidak segan meleburkan ajaran Islam kedalam adat istiadat masyarakat yang sudah lebih dahulu ada (animisme, agama Hindu dan Budha). Contohnya wayang kulit yang dipakai sebagai dakwah. Kisah wayang adalah gabungan dari berbagai macam pengaruh/aliran agama. Maksudnya jelas, agar mereka mudah menyebarkan agama Islam di seluruh tanah Jawa. Sesudah itu tentu mudah pula merambah kesegenap penjuru Nusantara.
Jejak para Wali itulah yang perlu kita teladani dalam menyebarkan Islam dijaman globalisasi ini.
Intinya adalah, (agama) Islam harus disajikan dalam ‘kemasan’ atau penampilan yang menarik. Islam harus disajikan dengan kandungan atau isi yang relevan atau sejalan dengan kemajuan jaman. Selama ini masih beredar anggapan bahwa Islam adalah agama yang ‘ortodoks’.
Dan yang penting, (agama) Islam harus ditampilkan dengan cara yang lebih memikat lagi.
Para Ulama Islam harus bisa memberikan keyakinan pada umatnya bahwa Islam adalah agama bagi semua. Agama yang tak lekang oleh kemajuan jaman. Agama yang ajarannya tidak kuno dan ‘kolot’. Agama yang menjamin kebahagiaan dunia akhirat dan berlaku secara universal.
Itulah ketiga faktor yang menurut nalar saya yang cupet, bisa menaikkan ‘daya saing’ dan ‘daya tawar’ (bargaining power) cukup tinggi.
Sehingga apabila diibaratkan dengan toko, maka “toko kita” tidak akan kalah bersaing dengan “toko sebelah”.
Dalam ajang pertandingan olahraga sering ada pemeo: ”Mempertahankan kemenangan lebih susah daripada saat merebut kemenangan”. Memang benar, mungkin karena umat Islam merasa dirinya sudah “besar”, maka menjadi lengah. Sehingga ‘kebesaran’ nyapun bisa jadi sebagian direbut oleh ‘orang lain’.
Maka saudaraku seiman, sebangsa dan setanah air, inilah saatnya para da’i dan ulama untuk membuktikannya.
Membuktikan bahwa Islam adalah agama terbaik disisi Allah SWT. Bahwa Islam adalah agama yang penuh rahmat bagi alam semesta. Sehingga kita bisa melihat Islam berjaya kembali di negeri tercinta ini, baik secara statistik maupun fakta apa adanya.
Mari kita buktikan bahwa umat Islam (masih) terbanyak (jumlahnya) di Indonesia.
Bahwa umat Islam di Indonesia juga terus tumbuh berkembang seiring dengan tumbuh berkembangnya penduduk Indonesia.
Amin ya Robbal ‘alamin.
Semalam saya sudah nulis puanjangggg ttg tulisan mas ini, eh nggak tahu nggak bisa terkirim, nah semalam aku nulis ttg tembang yg dijadikan alat dakwah bagi para wali jaman dulu,
BalasHapusLirilir lir ilir tandure wus semilir
tak ijo royo2 tak sengguh penganten anyar
cah angon2 cah angon penekna blimbing kuwi
lunyu2 peneken kanggo masuh dodotiro
dodotira2 kemitir bedah ing pinggir
domana jlumatana, kanggo seba mengko sore
mumpung gede rembulane
mumpung jembar kalangane
mung surako surak horeeee.......dakwah ttg pelaksanaan rukun Islam sebagai bekal menghadapNYA kelak....