Tulisan bersambung:
Sebuah Kisah Nyata
(Saya tuliskan catatan ini sebagai pengingat bagi diri sendiri, sekaligus juga untuk orang lain. Intinya agar kejadian ini bisa menjadi contoh, bahwa kesehatan jantung sering kali kita abaikan. Padahal itulah alat yang paling vital bagi kehidupan seorang manusia).
(Bagian pertama)
Hari Jum’at, 22 Desember 2006
Saya belum selesai memarkir mobil dihalaman masjid di kompleks Halim PK ketika nada sms masuk di ponsel . Sebetulnya saya agak malas membuka pesan yang masuk. Maklum “pesan sampah” dari provider seperti ini sudah sering terjadi. Bahkan ketika saya sedang mengikuti ibadah shalat Jum’at! Menjengkelkan sekali.
Tapi sebelum mematikan mesin mobil saya sempat melirik sekilas untuk mengetahui pengirim “pesan iseng” itu. Ternyata dari drg. Lety, adik ipar saya. Wah jangan-jangan pesan penting nih kalau dikirim pas pada waktu orang sedang shalat Jum’at begini.
Saya buka sms sebelum keluar dari mobil.
“Bsk jam 12.00 siang saya undang utk mkn bersm di Ixxx Pizza Tbt, ged Sent Panc, jl. MTH kav. X Panc. Telp. 837xxxxxx. Tlg di sms ke yang lain. Sy sdh psn tempat. Thx (Linda Wahyu)”
Pengirim sms sebenarnya adalah Linda. Adik ipar saya yang lain lagi yang berada diluar kota.
Walah mengundang pakai sms, lewat orang lain lagi, pikir saya.
Selesai shalat Jum’at saya telpon ke ponsel Linda yang masih tinggal di Surabaya.
“Terima kasih undangannya ya. Wah ngundangnya memang praktis dan irit” sindir saya.
“He he he nggak begitu Mas Tony. Satu sms untuk di forward (diteruskan) ke semua keluarga. Soalnya cuma biar cepet saja. Lagian kita kan masih harus mengurus tiket segala macam. Tapi bisa datang kan? Ajak anak-anak ya biar seru.”
Linda menjawab sambil cekikikan.
“Kalau undangan makan mah jangan dilewatkan Ndot. Sampai besok siang ya? Salam buat anak-anak juga”. Jawab saya. “Ndot” adalah panggilan kesayangan keluarga dekat untuk Linda.
Malam harinya sambil menunggu siaran langsung sepak bola saya merasa ada “sesuatu yang lain” didada sebelah kiri. Ada rasa “cekit-cekit” begitu. Susah dikatakannya kalau dalam bahasa Indonesia. Rasa sakit yang tidak begitu jelas dan hilang timbul. Ah, paling masuk angin nih, pikir saya. Sambil tiduran di kasur magnetik saya oleskan obat gosok penghilang rasa nyeri. Meski rasa sakitnya tidak sepenuhnya hilang tapi agak lumayanlah.
Dan malam itu saya bisa tidur.
Hari Sabtu, 23 Desember 2006
Keesokan paginya saya dan isteri pergi berobat ke dokter tusuk jarum langganan. Saya sampaikan keluhan sakit didada kiri saya.
Seperti biasa dokter Herry hanya tersenyum sambil berkata menenteramkan:
“Ah, nggak apa-apa. Ini ‘angina pectoris’, paling karena kecapekan saja”. Dan saya segera mendapatkan perawatan tusuk jarum seperti biasa.
“Mas, besok saya mau ke Semarang. Ada urusan keluarga. Ini saya beri obat. Kalau masih terasa sakit, obat ini diminum”. Kata dokter Herry.
Kalau tidak salah obat yang diberikan bernama Propanolol. Diminum kalau dada terasa sakit saja. Begitu aturan pakainya.
Siang itu acara makan bersama berlangsung seru dan meriah. Hampir seluruh keluarga besar isteri saya hadir lengkap dengan “barisan ekor” masing-masing.
Sambil makan saya ceriterakan kepada Hari, adik ipar saya yang juga dokter gigi perihal nyeri dada saya tadi malam.
“Gak apa apa mas. Paling itu angina pectoris.” Katanya santai saja.
“Tapi kalau tidak hilang juga, ya harus periksa ke dokter” ia menambahkan.
“Makannya juga harus dijaga mas. Terutama makan yang enak-enak kayak sekarang ini” Sambungnya berkelakar.
“Ya memang. Makan enak seperti ini memang harus dihindari dik. Apalagi kalau harus bayar sendiri” jawab saya.
Hari Sabtu yang cerah ini memang kita semua agak kebablasan. Semua yang dihidangkan “dibabat” habis tandas tak bersisa. Linda dan Wahyu (suaminya) sepertinya memang benar-benar mau memanjakan kita semua. Maklum acara kumpul makan bersama seperti ini memang sudah agak jarang kita lakukan semenjak Linda sekeluarga pindah tugas ke Surabaya. Pulangnya kita masih dibekali lagi makanan kesukaan masing-masing.
Pokoknya acara siang itu berlangsung sangat meriah dan mengenyangkan.
Hari Minggu, 24 Desember 2006
Selama hari Minggu ini seharian saya cuma malas-malasan dirumah. Tidak ada kegiatan kecuali nonton acara olahraga di televisi.
Malam hari sesudah makan malam saya merasa sangat capek dan memutuskan untuk pergi tidur agak awal. Baru sekitar pukul 08.00 malam saya sudah masuk kamar dan berusaha untuk segera tidur.
Mungkin belum sampai satu jam saya bisa memejamkan mata. Tiba-tiba terasa ada yang mengguncang-guncang kaki saya sambil bicara tergopoh-gopoh:
“Pa bangun pa, ini hanya papa yang bisa mengatasi. . . . dst”
Saya tersentak bangun. Tidak begitu jelas apa yang dikatakan isteri saya tadi.
Sekilas saya lihat bayangan isteri saya dan anak bungsu saya berada diatas tempat tidur sedang memegangi kaki saya. Saya tidak sempat berpikir ketika sekonyong-konyong rasa sakit menyergap dada. Kali ini sakitnya lebih parah dari hanya sekedar ‘cekit-cekit’. Saya mengerang sambil memegang dada kiri saya. Mungkin lebih tepat kalau dikatakan mencengkeram dada.
Suasana langsung berubah. Isteri dan anak saya kontan panik.
Suasana langsung berubah. Isteri dan anak saya kontan panik.
“Ada apa Pa, ada apa?” serentak mereka bertanya dengan wajah tegang.
Saya sudah tidak bisa menjawab. Rasa sakit didada sebelah kiri makin ‘intens’ saja rasanya. Nyeri berkelanjutan dan tanpa sela sedikitpun. Saya meringis menahan sakit. Baru sekali ini saya merasakan sakit dibagian dada kiri seperti ini. Apakah ini yang dinamakan’heart attack’ itu?
Kontan seisi rumah langsung ‘gempar’. Saya tergolek ditempat tidur. Obat dari dokter Herry sudah saya minum. 1 tablet, tidak ada reaksi. 2 tablet, masih tak ada pengaruh apapun.
Rasa sakit yang menusuk-nusuk itu terus saja saya rasakan. Isteri saya berusaha membantu dengan segala macam cara. Dari menggosok dengan balsem analgetik sampai memijati tangan ‘ala’ akupresur.
Rasa sakit yang menusuk-nusuk itu terus saja saya rasakan. Isteri saya berusaha membantu dengan segala macam cara. Dari menggosok dengan balsem analgetik sampai memijati tangan ‘ala’ akupresur.
Anak bungsu saya yang calon dokter gigi lain lagi. Dengan bekal ilmu yang diperolehnya -meski di kedokteran gigi- setidaknya dia mengerti dasar-dasar pertolongan pertama ‘keadaan darurat’ seperti yang saya alami malam ini.
Menurut ‘teori’ nya, ujung-ujung jari orang yang sakit harus ditusuk dengan jarum dan dipencet sampai keluar darahnya. Cuma pakai jarum apa? Dirumah tidak tersedia jarum ‘disposable’ seperti yang dipakai untuk tusuk jarum atau untuk periksa gula darah. Jadi dicari benda yang bisa berfungsi sebagai jarum.
Sambil terus menahan sakit saya menyaksikan ‘sepak terjang’ anak isteri saya berusaha mengurangi rasa sakit saya. Ujung jari saya dicoba untuk ditusuki. 1 kali, tidak mempan. 2 kali, belum berhasil juga. Entah karena menusuknya ragu-ragu -karena tidak sampai hati-, entah karena saya ‘kebal’ (cia elah).
Omong-omong saya anggota Mahatma lho dan sudah Keras Tiga (‘Keras’ adalah nama tingkatan di Mahatma). Jadi setidaknya saya punya ‘pertahanan diri’ terhadap serangan senjata tajam.
Omong-omong saya anggota Mahatma lho dan sudah Keras Tiga (‘Keras’ adalah nama tingkatan di Mahatma). Jadi setidaknya saya punya ‘pertahanan diri’ terhadap serangan senjata tajam.
Dicoba lagi untuk menusuk dengan keras, tapi hasilnya kurang memuaskan. Akhirnya keluar juga itu darah dari ujung-ujung jari tangan saya. Saya mengerang. Ini sih karena sakitnya dobel. Ya sakit didada ya sakit karena ujung jari ditusuki jarum.
Saya pasrah kepada Allah SWT sang Maha Pencipta. Isteri saya berusaha menelepon dokter keluarga untuk konsultasi. Bu dokter Harun tidak bisa menyarankan lain selain saya harus segera dibawa ke rumah sakit khusus jantung, RS Harapan Kita.
Astagfirullah….jadi saya terkena serangan jantung?
Meskipun tidak sepenuhnya hilang, tapi rasa sakitnya sudah sedikit berkurang. Jadi kalau mau ke rumah sakit, saya minta waktu besok pagi saja.
Pikiran saya mulai melayang kemana-mana. Tahun depan saya baru akan menjalani pensiun sebagai PNS. Masa kerja saya cukup lumayan, 34 tahun tanpa cacat. Setidaknya saya sudah dua kali mendapatkan tanda jasa, Piagam “Satya Lencana Karya Satya”.
Piagam pengakuan terhadap kesetiaan seorang pegawai yang mengabdi kepada negara. Dua Piagam itu masing-masing disertai dengan sebuah medali bersepuh perak (untuk masa kerja 20 tahun) dan medali bersepuh emas (untuk 30 tahun). Itu penghargaan resmi yang saya dapat dari Pemerintah, karena keduanya ditanda tangani langsung oleh Presiden Republik Indonesia. Uniknya dua piagam itu ditanda tangani oleh DUA orang Presiden yang berbeda.
Piagam pengakuan terhadap kesetiaan seorang pegawai yang mengabdi kepada negara. Dua Piagam itu masing-masing disertai dengan sebuah medali bersepuh perak (untuk masa kerja 20 tahun) dan medali bersepuh emas (untuk 30 tahun). Itu penghargaan resmi yang saya dapat dari Pemerintah, karena keduanya ditanda tangani langsung oleh Presiden Republik Indonesia. Uniknya dua piagam itu ditanda tangani oleh DUA orang Presiden yang berbeda.
Usia saya belum genap 60 tahun. Apakah saya akan mengakhiri hidup saya tepat sebelum saya pensiun? Saya bahkan belum ‘mantu’ (menikahkan) anak saya seorangpun! Ibu saya sering mengeluh mengenai hal itu.
“Kamu itu kerjanya membantu orang mantu, tapi kamu sendiri belum pernah mantu. Mau mantu kapan? Mumpung ibu masih hidup”
Saya selalu trenyuh dan kehabisan kata-kata kalau mendengar kata-kata ibu.
Apa yang beliau katakan benar adanya. Tak terhitung jumlahnya saya selalu ikut membantu sanak saudara, handai tolan, kerabat dan teman yang menikahkan anaknya.
Saya dan istri sampai dapat julukan “Pantap” (Panitia Tetap) urusan “permantuan”. Padahal saya sendiri malah belum pernah sekalipun punya hajat mantu. Tapi saya hanya pasrah. Kalau Allah Swt belum berkenan memberikan jodoh untuk anak-anak saya, saya harus berbuat apa. Berdoa sudah pasti, tapi saya tak akan pernah mau menjodoh-jodohkan anak. Biar mereka bebas mencari jodohnya sendiri. Sekarang kan bukan jaman “Siti Nurbaya” seperti yang dikisahkan dalam novel tempo doeloe.
Apa yang beliau katakan benar adanya. Tak terhitung jumlahnya saya selalu ikut membantu sanak saudara, handai tolan, kerabat dan teman yang menikahkan anaknya.
Saya dan istri sampai dapat julukan “Pantap” (Panitia Tetap) urusan “permantuan”. Padahal saya sendiri malah belum pernah sekalipun punya hajat mantu. Tapi saya hanya pasrah. Kalau Allah Swt belum berkenan memberikan jodoh untuk anak-anak saya, saya harus berbuat apa. Berdoa sudah pasti, tapi saya tak akan pernah mau menjodoh-jodohkan anak. Biar mereka bebas mencari jodohnya sendiri. Sekarang kan bukan jaman “Siti Nurbaya” seperti yang dikisahkan dalam novel tempo doeloe.
Saya lalu teringat bahwa selama bekerja sebagai bawahan seorang Petinggi, waktu saya nyaris habis untuk mengabdi. Tak pernah sempat berolah raga. Makan tak teratur, dan asupan gizi yang amburadul. Setiap pagi hampir tak pernah lupa menyantap cemilan (kudapan, snack) berupa makanan gorengan. Sedang menu makan siang selalu nasi bungkus dari restoran Padang. Nikmat tapi full lemak. Belum lagi kalau ikut menghadiri resepsi kenegaraan dengan menu serba lezat. Tidak heran tubuh saya semakin ‘mbedah’ (subur).
Ditambah selalu bekerja ‘under pressured’, maka lengkap sudah faktor pemicu sutris. Barangkali itu pula yang membuat tekanan darah saya selalu tinggi dan sekarang malah agaknya saya terkena tanda-tanda Penyakit Jantung Koroner (PJK)..
Ada beberapa hal yang menjadi faktor risiko PJK. Hipertensi (tekanan darah tinggi), diabetes melitus, merokok, kurangnya aktivitas fisik, dan dislipidemia. Walaupun saya tidak merokok, tidak mempunyai penyakit diabetes melitus, namun jelas saya punya hipertensi. Apalagi saya jarang berolah raga, berarti kurang beraktivitas secara fisik.
Sepanjang malam itu saya nyaris tidak bisa tidur. Rasa sakit didada itu seperti menetap. Hanya dengan terus berdoa saya bisa sedikit ‘melupakan’ rasa sakit itu.
Sampai pagi hari akhirnya tiba.
Hari Senin, 25 Desember 2006.
Ini adalah hari libur. Hari Natal tahun 2006. Pagi-pagi sekali setelah shalat subuh ditempat tidur saya berusaha bangkit ke kamar kecil. Badan terasa lemah dan ada sedikit rasa ‘melayang’. Saya minum obat analgesik yang biasa saya minum kalau sedang pegal-pegal. Soalnya obat yang diberikan dokter Herry seperti tidak mempan ditubuh saya.
Sangat beruntung ini hari libur. Jadi semua anak saya berada dirumah.
Maka persiapan untuk mengevakuasi saya ke RS Harapan Kita segera dilakukan. Semua mendapat bagian tugas masing-masing. Seisi rumah ‘sibuk pusing’.
Anak laki-laki saya menyiapkan mobil. Tidak bisa hanya satu mobil sedan, pasti tidak muat. Karena satu mobil harus dikhususkan untuk membawa ‘pasien’, isteri saya dan Bude Gito. Yang terakhir ini adalah tetangga saya yang mantan perawat RSCM. Beliau yang selalu sukarela mendampingi kalau ada anggota keluarga saya yang sakit. Jadi harus cari ‘sopir tembak’ untuk mobil yang satu lagi. Untung hari libur, jadi banyak remaja yang bisa ‘nyetir’ ada dirumah dan bisa diminta bantuan.
Anak laki-laki saya menyiapkan mobil. Tidak bisa hanya satu mobil sedan, pasti tidak muat. Karena satu mobil harus dikhususkan untuk membawa ‘pasien’, isteri saya dan Bude Gito. Yang terakhir ini adalah tetangga saya yang mantan perawat RSCM. Beliau yang selalu sukarela mendampingi kalau ada anggota keluarga saya yang sakit. Jadi harus cari ‘sopir tembak’ untuk mobil yang satu lagi. Untung hari libur, jadi banyak remaja yang bisa ‘nyetir’ ada dirumah dan bisa diminta bantuan.
Mobil dan lain-lain beres. Tapi masih ada satu persoalan lain lagi yang harus dipecahkan. Ibu saya -yang tinggal di Semarang- kebetulan sedang berada di Jakarta. Tapi beliau sedang menginap dirumah adik saya Heru di Pancoran. Harus ada yang memberitahu dengan ‘pelan dan bijak’, agar beliau tidak ‘shock’ dan malah ikut sakit. Soalnya hari Senin ini kebetulan Ibu saya harus pulang ke Semarang, dan sebelum pulang biasanya mampir dulu kerumah saya untuk pamitan. Nah kalau tahu yang mau dipamiti malah sakit dan di ‘opname’ di RS kan acara pulang bisa jadi berantakan.
Belum lagi kalau Ibu juga ikut jatuh sakit. Bisa ‘me rame’ jadinya.
Proses ‘evakuasi’ dimulai. Berangkat dari rumah jam 06.30 pagi.
Untung hari libur (ini untung lagi yang keberapa sih?), karena jalanan jadi sepi dan lalu lintas Jakarta lancar. Tanpa berjalan ‘ngebut’pun tidak sampai setengah jam saya sudah berada diruang gawat darurat RS Harapan Kita.
Saya langsung ‘diangkut’ memakai tempat tidur dorong ketempat pemeriksaan pertama. Untung hari libur. (Tuh kan untung lagi, orang Jawa sih. Banyak untungnya). Jadi Ruang Gawat Darurat sepi pasien tapi penuh dokter dan co-ass.
Segera saja saya ‘dikerubuti’ dan dicecar dengan segala macam pertanyaan menyangkut sakit saya. Sementara sambil ditanya, tangan dan dada saya sudah ditempeli segala macam alat monitor. Tekanan darah saya memang agak tinggi saat itu, bisa jadi karena panik sekaligus grogi. Tapi herannya rasa sakit didada malah sudah hilang. Entah karena takut, atau karena sudah minum obat analgetik sebelum berangkat tadi.
Hasil rekam jantung dengan EKG (Elektro Kardio Graf) katanya positif. Positif apa? Ternyata diagnosis yang diambil para dokter itu: saya bukan hanya kena angina pectoris. Saya memang positif kena heart attack, yang disebut sebagai infark miokardium, serangan jantung yang (katanya) kadarnya masih ringan.
Untung (lagi!) saya masih dalam fase golden period, belum sampai 12 jam dari saat timbulnya rasa sakit. Jadi penanganannya mungkin bisa lebih mudah.
Dalam dunia kedokteran (spesialis jantung) dikenal istilah time is muscle. Artinya, makin dini penanganannya, makin banyak otot jantung yang bisa diselamatkan.
Astagfirullah, jadi saya benar-benar kena serangan jantung?
Ya, siapa yang tidak percaya dengan hasil EKG?
Elektrokardiografi saat ini memang sangat diandalkan untuk mengetahui fungsi jantung seseorang. Pada sekitar tahun 1901 seorang dokter warga negara Belanda yang lahir dikota Semarang bernama Willem Einthoven menciptakan alat yang kini disebut sebagai EKG. Alat ini bisa merekam perubahan potensial listrik yang ditimbulkan oleh denyut otot-otot jantung. Perubahan potensial listrik otot jantung itu direkam melalui elektroda yang dipasang pada dada, lengan dan kaki pasien. Hampir semua kelainan jantung dapat diketahui dengan alat yang sekarang bentuknya semakin kompak dan canggih. Kelainan itu antara lain: pembengkakan jantung, kerusakan otot jantung (infark miokardium) dan kelainan irama denyut jantung (aritmia).
Gangguan sistem tubuh lain yang berpengaruh terhadap jantung juga dapat dideteksi derngan alat EKG.
“Jadi Bapak harus segera di ‘cat (eterisation)’ “, kata salah seorang dokter muda yang memang masih sangat muda itu. Di cat?. Saya kaget. Agak panik -dan takut- sebetulnya. Kalau boleh menawar sih saya maunya jangan di cat (kateterisasi) dulu. Tapi isteri saya dan Bude Gito mencoba membesarkan hati saya. Nggak apa apa, biar semuanya segera bisa ditangani, katanya.
Diruangan yang sempit tapi dingin itu, tiba-tiba saja ada suster yang ‘menelanjangi’ saya. Saya pikir ini memang Standard Operation Procedure yang biasa dilakukan.
Tapi lho, weeelhadalah, kok tiba-tiba ada yang ambil alat pencukur?
“Maaf, nggak usah malu ya Pak, ini sudah pekerjaan rutin kita koq” kata perawat itu sambil mulai -maaf- membabat ‘hutan lindung’ dibagian paling rahasia tubuh saya.
Wah edan tenan, kata hati saya. Betul-betul dibuat ‘licin tandas’ itu hutan.
Saya berpikir, ini kalau tidak salah kan persiapan pra operasi? Gawat nih.
Saya berpikir, ini kalau tidak salah kan persiapan pra operasi? Gawat nih.
Saya ingat almarhum ayah saya dulu juga pernah menjalani cat di RS ini. Dan saya juga masih ingat bagaimana beliau menggigil kedinginan usai menjalani proses kateterisasi itu. Saya bergidik. Tapi entah mengapa setelah terus berdoa saya menjadi lebih tenang. Saya mencoba untuk ‘menikmati’ saja salah satu proses ‘sandiwara kehidupan’ yang harus saya jalani ini.
Saya yakin Allah SWT tidak akan memberikan cobaan yang melewati kemampuan hambaNya untuk menerima.
Saya pasrah saja ketika dipasangi kateter kencing (untung berupa kondom, jadi tidak perlu merasa sakit karena ditusuk seperti kateter biasa). Juga alat bantu pernafasan yang seperti masker untuk para astronot itu.
Karena belum terbiasa memakai masker, menurut perasaan saya malah membuat nafas megap-megap (terengah-engah). Tapi lama kelaman bernafas menjadi terasa lebih ringan.
Secepatnya saya didorong menuju ruang kateterisasi. Saya sendirian saja. Istri saya dan bu Gito serta anak-anak entah kemana. Saya merasa ‘dilucuti’. Semua hape saya ‘disita’ oleh istri saya. Itu yang membuat saya agak jengkel. Bagaimana nanti kalau saya butuh berkomunikasi atau memerlukan sesuatu.
Berada didalam ruangan yang seluruhnya berdinding kaca, saya tergolek didipan dorong sendirian. Suhu terasa sangat dingin. Saya mencoba melihat sekeliling sambil mencari istri dan anak saya.
Tapi sia-sia. Tak seorangpun muncul diruangan ‘cat’ itu.
Tapi sia-sia. Tak seorangpun muncul diruangan ‘cat’ itu.
Kateterisasi jantung adalah tindakan intervensi mekanis untuk meneliti tekanan pompa jantung, kelainan katup jantung atau struktur pembuluh darah (arteri) jantung. Meskipun bukan “operasi” besar, tindakan ini termasuk agak sulit. Harus dilakukan oleh seorang dokter spesialis yang ahli dibidangnya. Oleh sebab itu hampir tidak ada resiko bagi pasien yang menjalani tindakan kateterisasi jantung ini.
Memakai bahan yang bisa memberikan gambaran putih pada visualisasi radiologi, kateter jantung terbuat dari pipa/selang plastik halus. Pipa atau selang halus yang sangat panjang ini dimasukkan melalui pembuluh darah balik di lengan (arteri radialis) atau paha pasien (arteri femoralis). Kateter khusus ini akan dimasukkan sampai ke jantung ataupun pembuluh koroner jantung, dan pasien tidak akan merasakan sakit. Setelah sampai pada pembuluh koroner jantung, maka zat kontras akan diinjeksikan ke dalam koroner jantung dan dilihat dengan menggunakan fluroskopi sinar x-ray. Tabung x-ray ini dapat dirubah pada berbagai posisi sehingga memberikan gambaran yang baik mengenai pembuluh koroner jantung.
Dokter akan memantaunya dari sebuah televisi monitor yang ada dalam ruangan kateterisasi. Bahkan pasienpun bisa ikut menyaksikan ‘tayangan’ siaran itu secara langsung.
Pasien ‘cat’ memang biasanya tidak dibius total.
Pasien ‘cat’ memang biasanya tidak dibius total.
Istilah medis untuk kateterisasi jantung adalah Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) atau Percutaneous Coronary Intervention (PCI).
Pembuluh darah (arteri) jantung yang tersumbat harus 'ditiup' dan disangga dengan semacam ‘balon’, itu sebabnya kateterisasi jantung sering juga disebut dengan "pembalonan" atau "balonisasi". Balon itu bisa juga berwujud sebuah penyangga terbuat dari baja tahan karat yang disebut dengan ‘stent’ (ring/cincin).
Tiba-tiba muncul dua orang perawat, laki-laki muda dan setengah tua. Tanpa berkata sepatahpun mereka mencari urat dipaha kanan saya. Ketika dia mengeluarkan sebuah jarum suntik berukuran ekstra besar, saya langsung bergidik.
Nyali saya lenyap saknalika! Saya memang trauma berat dengan suntikan.
Gara-gara kenyang disuntik sejak kecil, karena saya menderita bronchitis kronis yang parah.
Saya pernah menjalani terapi suntikan sampai 40 kali (selama 40 hari berturutan!). Waktu itu usia saya belum genap 7 tahun dan harus disuntik setiap hari.
Bayangkan kalau anak kecil menghadapi pengalaman traumatis seperti itu. Apalagi disuntik dengan alat suntik yang jarumnya harus dibakar lebih dahulu. Saat itu, belum ditemukan jarum suntik disposable.
Jadi untuk mensterilkan jarum, jalan satu-satunya ya harus dibakar.
“Agak sakit sedikit ya Pak, tapi tahan saja” kata perawat yang muda dengan suara dingin.
Saya njenggirat (sadar dari lamunan). Sakit koq pakai sedikit, dalam hati saya menggerutu. Tapi saya dalam posisi tak bisa menolak kan?
Dia semprotkan suatu cairan ke pangkal paha saya. Rasanya sedingin es batu. Kemudian dia suntikkan sesuatu. Memang sudah tidak terlalu sakit. Katanya itu suntikan pemati rasa lokal.
Tidak berapa lama paha saya terasa kebas. Tidak bisa merasakan sentuhan.
Lalu suntikan berukuran ekstra besar itupun ditusukkan kepaha saya. Walaupun kebas, tapi ternyata masih terasa juga sedikit rasa sakit dan ngilunya. Jarum itu ternyata kemudian ditinggalkan menancap dipangkal paha saya. Harap maklum. Saya sadar sepenuh-penuhnya ketika semua itu terjadi. Saya tidak dibius total. Jadi masih bisa menyaksikan apa saja yang terjadi.
Sehabis memasang jarum, saya ditinggalkan lagi sendiri. Sebersit rasa takut menyeruak. Suhu udara yang dingin sudah tidak saya rasakan lagi. Yang terasa sekarang malah rasa hangat dan gerah. Mungkin karena saya menahan takut. Mau diapakan lagi ini tubuh saya?
Saya menunggu cukup lama diruangan itu. Sendirian. Kemudian muncullah pak dokter diiringi seorang perawat wanita dan dua perawat pria yang tadi menyuntik saya.
“Sudah siap semua ini?” tanya dokter kepada perawat laki-laki yang masih muda.
“Siap dok. Tinggal memasukkan kateternya saja” Jawabnya.
Meskipun dalam keadaan terbaring, tapi kepala saya dalam posisi bebas untuk bisa ‘milang-miling’ (melihat-lihat) kemana saja.
Didalam ruangan itu terdapat semacam televisi monitor monochrome (hitam putih).
Didalam ruangan itu terdapat semacam televisi monitor monochrome (hitam putih).
Layarnya tampak jelas sekali terlihat dari dipan saya. Dokter terus saja memberikan perintah-perintahnya kepada perawat wanita dan perawat yang tadi menyuntik saya. Sama sekali tidak berbicara kepada saya. Kateter berupa pipa/selang plastik tipis dan kecil lalu dimasukkan melalui jarum yang dipasang dipaha saya tadi. Setelah disemprotkan cairan/zat kontras, maka dokter mengamati perjalanan selang itu lewat televisi monitor. Saya juga bisa ikut melihatnya langsung. Meskipun harus dengan mendongakkan kepala.
Tampak dilayar monitor, bayangan sebuah benda bergerak-gerak. Itulah jantung saya! Gambaran itu bisa dibesar kecilkan sesuai kemauan pak dokter. Memang kelihatan ada urat-urat berwarna gelap. Itu barangkali yang disebut arteri atau koroner jantung.
Singkat cerita, maka ditemukanlah salah satu arteri jantung saya yang sudah tersumbat sekitar 75%. Karena ‘baru’ satu yang tersumbat, kasus saya ini tergolong kasus yang masih ringan. Dokter langsung memutuskan untuk memasang “stent” (ring/cincin terbuat dari baja anti karat, yang dipasang didalam arteri untuk memperlebar lubang yang menciut akibat kerak).
Untung (lagi-lagi orang Jawa banyak untung) saya bukan perokok, jadi belum terjadi banyak penyumbatan. Kerak yang ada barangkali berasal dari asupan makanan yang saya konsumsi selama ini. Mungkin juga berasal dari ‘timbunan’ makanan gorengan atau sajian berlemak lainnya.
bersambung......