Sabtu, 27 Agustus 2011

"ANEKA BOGA PENGGUGAH SELERA" ( 8 )


(Catatan tentang kuliner dari yang biasa sampai yang “aeng-aeng”)
-Bahan dan foto dari berbagai sumber-

Bagian Kedelapan

 Menu Lebaran hampir lengkap


Released by mastonie, Saturday, August 27, 2011 at 8.45pm


Kuliner ‘abadi’ yang wajib ada setiap lebaran tiba……

     Almarhumah ibu saya adalah seorang tukang masak yang jempolan. Setidaknya menurut penilaian pribadi saya. Tapi yang membuat saya selalu kangen adalah masakan ibu setiap Idul Fitri atau lebaran tiba.
Masakan khusus lebaran adalah seperti yang biasa dihidangkan oleh semua ibu rumah tangga yang ingin membahagiakan keluarganya. 

Ketupat (atau kadang ada yang lebih suka lontong) adalah makanan pokok yang menggantikan ‘tugas’ nasi dihari raya. Itu mutlak harus ada. Sedangkan lauk pauk penyertanya yang umum adalah opor ayam, sambal goreng hati, rendang daging atau balado daging dan kerupuk udang.
Selain itu biasanya ada kering kentang, serundeng dan bubuk kedelai serta bawang merah goreng.
Pasti ada yang beda disetiap keluarga, karena biasanya masing-masing ibu punya menu andalan sendiri. Misalnya sayur lodeh dan sebagainya.
Sebelum menikah, opor ayam buatan ibu adalah lauk favorit saya. Setelah menikah, isteri saya secara khusus saya minta untuk menimba ilmu pembuatan opor ayam dari ibu. Juga resep-resep masakan lain dari yang sederhana sampai yang cukup rumit. Walaupun saya tahu beda tangan biasanya beda pula rasa masakannya. Meski resepnya sama persis plek.
Apalagi saya juga tahu dimasa gadisnya isteri saya sama sekali tidak pernah menginjak dapur. Keahliannya dibidang memasak semasa gadis adalah hanya memasak air. Selain itu nol besar. Maklum dia (anak bungsu)  berasal dari keluarga yang selalu mengandalkan kiprah para “asisten dapur” alias juru masak.
     Terus terang saja saya jauh lebih jago memasak daripada isteri saya. Karena ibu saya mendidik semua anak-anaknya untuk bisa berkiprah didapur alias memasak. Itu tidak lain karena ibu adalah seorang karyawati, sehingga sangat jarang dirumah selain hari libur. Maka siapa saja yang pada siang hari berada dirumah, dialah yang wajib berbelanja dan memasak untuk seisi rumah.
Untungnya isteri saya punya bakat memasak yang cukup hebat. Mungkin karena semangatnya yang sangat besar untuk membuat suaminya “tekuk lutut”. 
Maklum konon ada kata pepatah, “kalau ingin suami betah dirumah, manjakanlah perutnya”.
Saya tidak tahu persis apa ada juga cara lain untuk menundukkan suami yang selain perut. 
Yang dibawah perut misalnya.
Berkat bakat dan semangat itulah isteri saya kemudian berkembang menjadi seorang juru masak yang hebat juga. Rasa masakannya nyaris tidak kalah dari masakan almarhumah ibu saya. Alhamdulillah.

     Nah, saat menjelang lebaran seperti saat ini, ada baiknya saya bocorkan ‘rahasia dapur’ dan resep masakan ibu saya yang khusus untuk hidangan hari raya itu.
Yang pertama tentu saja: 

Opor Ayam.

     Masakan yang identik dengan "lauk wajib" untuk lebaran itu tak boleh tidak,  harus ada.
Ibu saya dahulu selalu memilih ayam kampung hidup yang biasanya saya sembelih sendiri. Selain lebih afdol (karena yakin disembelih menurut aturan agama), rasa ayam kampung katanya juga lebih gurih dan mantap. Tapi seiring banyaknya ‘ayam negeri’ yang dijual dipasar, maka kemudian ibu juga tak keberatan memakai bahan ayam negeri itu. Lebih praktis dan biasanya harganya lebih murah.
Bahan-bahan yang lain adalah: bawang merah, bawang putih, ketumbar, jintan, merica, jahe, kemiri, garam, gula merah. Ini semua dihaluskan. Kemudian siapkan santan cair dan santan kental. Perbandingannya kira-kira 1 : ½, santan cair lebih banyak.
Bumbu penyerta lainnya adalah, daun salam, asam jawa, lengkuas, daun sereh dan jeruk nipis, bumbu masak (kalau suka). Keluarga saya sendiri sudah lama tidak pernah memakai bumbu masak atau penyedap rasa ini.
Cara membuat:
1 ekor ayam bisa dipotong menjadi 12 atau sesuka hati tergantung kebutuhan. Lumuri dengan air perasan jeruk nipis. Biarkan selama ¼ jam.
Tumis semua bumbu yang telah dihaluskan dengan minyak goreng secukupnya, jangan lupa sereh, daun salam dan lengkuasnya. Tunggu sampai berbau harum dan bumbu matang. Masukkan potongan daging ayam, aduk sampai rata. Setelah daging ayam agak kaku masukkan santan cair dan gula merah. Setelah daging ayam setengah matang  lalu tuang santan kentalnya bersama asam jawa. Masak terus dengan api kecil sampai ayam benar-benar matang dan kuahnya agak mengental berwarna kuning mengkilat. Hidangkan dengan taburan bawang merah goreng.

Sambal Goreng Kentang dan Hati:

Bahan-bahan utamanya adalah, kentang, udang, petai, kapri, pete, hati (sapi atau ayam), dan ampela ayam (kalau suka). Bumbu yang perlu dihaluskan: cabe marah besar dan keriting, bawang merah, tomat, gula pasir, garam. Bumbu lainnya adalah daun salam, daun jeruk, dan  jahe, sereh serta lengkuas yang dimemarkan. Santan kental (kalau suka).
Cara membuat:
Potong dadu kentang dan hati (kalau suka). Pete dibelah dua atau diiris tipis-tipis terserah selera. Sebagian cabe merah besar diiris serong. Udang disiangi, buang kepalanya dan belah punggungnya. Goreng kentang dan hati, serta ampela (kalau suka) sampai setengah matang.
Tumis semua bumbu yang dihaluskan termasuk daun salam, daun jeruk, sereh, jahe dan lengkuas. Tunggu sampai harum baunya. Masukkan hati, kentang dan udang. Masak sampai udang berubah warna. Masukkan pete dan tambahkan air atau santan kental (kalau suka). Masak lagi sampai kuah mengental.
Untuk sambal goreng memang ada yang tidak suka memakai santan, karena bisa lebih tahan lama. Tapi ada pula yang suka menambahkan santan kental yang dimasak hingga keluar minyaknya. Terserah selera anda.

Telur Pindang:

     Bahan utamanya tentu saja telur ayam negeri. Jumlahnya sesuai kebutuhan.
Bumbu yang dibutuhkan: daun jambu biji, kulit bawang merah (bisa diganti dengan teh bungkus, bukan teh celup), daun salam, cengkeh, kayumanis dan garam.
Cara membuat: rebus telur dalam air yang telah berisi semua bumbu. Biarkan sampai telur berubah warna menjadi kecoklatan dan beberapa diantaranya pecah kulitnya. Biasanya butuh waktu sampai lebih dari satu jam. Semakin lama memasaknya semakin meresap bumbunya. Ini membuat telur jadi kenyal dan gurih serta mudah dikupas.

Dendeng Balado (daging) :

Bahan utamanya daging sapi. Bumbu: cabai merah besar, bawang merah, garam, air jeruk nipis dan minyak untuk menggoreng daging.
Cara membuat: Iris tipis-tipis daging sapi dengan arah melintang urat.
Campurkan daging dengan perasan air jeruk nipis dan garam. Remas remas daging sampai rata semuanya. Panggang dalam oven dengan suhu sedang sampai daging kering.
Setelah itu daging digoreng lagi dengan api kecil sampai terasa renyah. Angkat dan tiriskan sampai minyak tak tersisa. Sisihkan daging.
Buat bumbu balado dengan menumbuk kasar semua bumbu.
Tumis dengan menambahkan air jeruk nipis dan garam sampai cabe terlihat layu.
Sisihkan bumbu ini. Jangan langsung dicampur dengan daging agar daging tetap renyah.
Setelah akan disajikan baru siram daging dengan bumbunya.

Semua menu diatas sudah termasuk “afdol” kalau disajikan pada hari lebaran.
Adapun tambahan menu lain seperti sayur lodeh bisa saja disajikan (mungkin untuk melengkapi keharusan adanya menu sayuran). 
Jangan lupa menggoreng kerupuk udang atau emping (bagi mereka yang punya penyakit asam urat, hindarilah emping goreng).
Ibu saya biasa membuat ekstra cadangan bawang merah goreng dan bubuk kedelai untuk membuat pesta makan tambah mak nyooooooosssss…..

     Selamat berlebaran dengan sanak saudara sambil menikmati hidangan khusus setahun sekali. Tapi tetap ingat kadar cholesterol anda, jangan sampai habis lebaran malah jatuh sakit kebanyakan makan enak.

Taqoballahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, taqobal yaa kariiim…….
Selamat Idul Fitri, Mohon maaf lahir batin.


bersambung…….

Senin, 15 Agustus 2011

"ANEKA BOGA PENGGUGAH SELERA" ( 7 )

Tulisan bersambung:

(Catatan tentang kuliner dari yang biasa sampai yang “aeng-aeng”)
-Bahan dan foto dari berbagai sumber-

Bagian Ketujuh

 Ikan Bandeng (Lat: Chanos-chanos)


Yang enak dari kolam, sungai, tambak dan laut…..

     Sebagian besar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah berupa perairan. Baik laut, danau, waduk, kolam, tambak dan sungai atau kali. Oleh sebab itu tak heran kalau sesungguhnya Indonesia kaya dengan fauna yang hidup didalam air.
Yang terutama tentu ikan (pisces). Binatang penghuni air yang termasuk kelas vertebrata ini hidup diperairan tawar, payau sampai asin. Ikan yang berdarah dingin dan bernapas dengan insang itu adalah sumber protein hewani yang sangat bermanfaat bagi manusia. Apalagi kalau diambil minyaknya yang sangat kaya akan vitamin A dan D.
     Sayangnya menurut beberapa penelitian, rata-rata orang Indonesia masih rendah tingkat konsumsinya terhadap ikan. Orang Jepang terkenal sangat suka makan ikan. Bahkan ikan mentah segar pun mereka ‘sikat’. Contohnya ‘sashimi’.
Padahal di Indonesia terdapat banyak sekali macam dan jenis ikan air tawar, payau dan asin yang bisa dibeli dengan mudah dipasar tradisional maupan pasar modern.
Tidak jelas mengapa orang Indonesia lebih senang makan ‘daging merah’ dari hewan bersayap dan hewan berkaki empat.

     Walaupun tidak suka sayur, sejak kecil saya suka makan ikan. Saya ingat kalau Mbah Putri (nenek) sedang berkunjung kerumah, beliau pasti tidak lupa membawa lauk kesukaan saya, yaitu ikan Bandeng (lat: chanos-chanos). Mbah Putri punya resep yang bisa membuat ikan bandeng terasa sangat nikmat. Bandeng direndam dalam campuran bumbu bawang putih dan ketumbar, asem jawa serta garam yang sudah dihaluskan. Diamkan beberapa menit, kemudian baru digoreng dalam minyak panas yang jumlahnya banyak (deep fried). Kalau makan dengan lauk itu saya sangat lahab. Sampai menghabiskan nasi berpiring-piring, apalagi kalau simbah putri terkadang masih suka menyuapi saya makan. Padahal saya sudah duduk dikelas 3 SR!
Maklum bandeng terkenal sebagai ikan yang mempunyai banyak sekali duri lembut, jadi
beliau dengan telaten akan membuang duri bandeng sebelum disuapkan kemulut saya.

Kota Semarang yang terletak di pantai utara laut Jawa memiliki banyak tambak (kolam air payau). Di tambak inilah bandeng dibudi dayakan. Teknologi pangan yang maju kemudian mengenal teknik presto (alat masak bertekanan tinggi), yang kemudian dipakai untuk memasak bandeng agar durinya menjadi lunak.
Dikemudian hari kota Semarang terkenal sebagai penghasil “Bandeng Presto” (duri lunak) yang jadi oleh-oleh khas dari ibukota Provinsi Jawa Tengah itu. Menu presto itu kemudian juga memunculkan “Bandeng Pepes Presto” dan Bandeng Asap Presto”.
Begitu marak dan terkenalnya bandeng duri lunak ini, sehingga setiap hari terjadi kemacetan dijalan Pandanaran, dimana berjejer toko dan warung bandeng. Apalagi kalau hari libur dan hari besar.

     Ketika masih duduk dibangku SMA saya sudah hidup mandiri. Waktu itu baru terasa bahwa bandeng termasuk makanan ‘mewah’ karena harganya lumayan mahal. Jadi saya beralih ke ikan yang lebih terjangkau kantong. Yaitu ikan Kembung (blow fish atau mackerel) yang sudah diasinkan. Biasa disebut sebagai Peda, atau dalam bahasa Jawa dinamakan gereh Peda. Kembung yang biasa digunakan sebagai bahan sarden itu memang relatif lebih murah harganya. Apalagi yang sudah jadi ikan asin.
Peda bisa digoreng begitu saja dan dimakan dengan sambel terasi, atau bisa dibuat pepes dengan dibungkus daun singkong. Tapi proses membuat pepes terlalu rumit dan lama. Jadi saya lebih sering makan gereh Peda yang digoreng saja.

Setelah menikah, berhubung gaji masih pas-pasan, saya sering minta istri saya untuk membuat pepes peda. Ini adalah menu favorit kami berdua sejak pengantin baru sampai punya anak tiga. Bukan karena apa, hanya karena murah, mudah dan “nglawuhi” (enak buat lauk makan).
Berikut saya bocorkan resep rahasia “pepes peda” a la istri saya:
Bahan: beberapa ekor ikan peda (ikan kembung yang diasinkan), daun salam, kemangi, kelapa parut, bawang merah, daun bawang, cabe merah dan cabe rawit, sereh dan garam. Jangan lupa daun pisang untuk membungkus pepesnya.
Cara membuat: rendam ikan peda dalam air hangat, tiriskan.
Kemudian goreng sebentar sampai warnanya sedikit coklat. Angkat sisihkan.
Cabe merah, bawang merah, sereh dan daun bawang iris tipis-tipis. Kalau suka yang pedas tambah dengan cabe rawit yang dihaluskan. Campur kelapa parut dengan semua bumbu. Kalau masih merasa terlalu asin, bisa ditambahkan irisan daun singkong rebus dalam bumbu tadi. Aduk sampai rata. Ambil selembar daun pisang, beri selembar daun salam, taruh adonan bumbu kemudian taruh ikan peda dan tutup lagi dengan bumbu. Terakhir beri beberapa lembar dauh kemangi.
Tutup daun pisang, semat pakai lidi atau tusuk gigi.
Kukus selama setengah jam atau sedikit lebih kalau dicampur daun singkong.


     Sewaktu budidaya ikan Lele (catfish, lat: clarias batrachus) sedang booming dengan jenis Lele yang disebut Lele Dumbo, maka minat masyarakat untuk makan ikan Lele tampaknya meningkat pesat. Lele Dumbo (dari kata ‘Jumbo’ yang artinya besar) termasuk jenis ikan air tawar yang mudah dibudidayakan, baik dikolam maupun di empang. Lele Dumbo juga tidak mempunyai ‘patil’ (sirip beracun) seperti lele biasa.
     Jaman dulu lele biasa dipelihara di empang yang sekaligus berfungsi sebagai lahan untuk tempat pembuangan limbah dan kakus. Konon Lele yang diberi pakan (maaf) kotoran manusia akan cepat menjadi besar dan gemuk. Akan tetapi seiring dengan majunya teknik budidaya ikan, maka sekarang lele sudah dipelihara dalam kolam-kolam khusus dengan makanan yang khusus pula.

Saat ini warung makan yang menyediakan menu Pecel Lele sangat mudah ditemukan. Nyaris disetiap warung tenda kaki lima di Jakarta ada yang menjual Pecel Lele. Biasanya warung itu juga menjual nasi uduk.
Walaupun namanya ‘pecel’, ternyata bumbu pecel lele sangat jauh dari bumbu pecel betulan (yang bahannya sayuran). Bumbu pecel yang disajikan ternyata terdiri dari cabe merah dan rawit, bawang merah dan tomat serta terasi dan garam yang dihaluskan dalam cobek sehingga menjadi sambal. Lelenya digoreng kering, lalu disajikan dengan lalapan timun dan daun kemangi.

     Selain Lele, ada jenis ikan air tawar yang termasuk jadi ‘primadona’. Harganya cukup mahal karena dagingnya tebal dan gurih rasanya. 
Namanya Gurami atau Gurame (jw: Grameh, lat: Osphronemeus Gouramy).
Gurami biasa disajikan dengan digoreng, dibakar atau dimasak dengan macam-macam bumbu sesuai selera.
Kalau makan direstoran saya paling suka menu Gurami Goreng Tepung, Gurami asam manis atau Gurami bumbu tauco. 

Kalau anda berniat menggoreng Gurami sendiri yang mirip dengan jika anda membeli direstoran, tentu boleh saja. Syaratnya harus punya wajan (wok, penggorengan) yang cukup untuk memuat setidaknya seekor ikan gurami utuh ukuran 500 gram. Karena gurami harus digoreng secara ‘deep fried’ (digoreng sampai terendam dalam minyak).
Ini butuh sedikit ‘ilmu’.
Tapi karena saya sedang baik hati, mari saya berikan tip bagaimana cara menggoreng gurami (atau ikan yang lain) dengan baik dan benar.
Pertama pilih gurami yang sehat, ditandai dengan sisiknya yang masih bagus. Paling aman kalau bisa membeli gurami yang masih hidup dengan berat paling minim 500 gram. Siapkan bumbunya: bawang putih, ketumbar, kunyit, jeruk nipis, mentega dan garam. Jangan lupa tepung bumbu siap pakai (khusus untuk ikan atau ayam goreng) yang bisa dibeli dipasar.
Langkah pertama siangi gurami sampai bersih. Iris daging gurami dikedua sisi badannya, usahakan jangan sampai terlepas. Ini tidak hanya butuh pisau yang sangat tajam tapi juga sedikit keterampilan. Haluskan semua bumbu, campur dengan mentega dan air jeruk nipis. Oleskan keseluruh bagian tubuh gurami. Rendam sebentar gurami dalam campuran bumbu tersebut. 

Siapkan wajan dan isi dengan minyak yang cukup banyak, setidaknya bisa untuk merendam seluruh tubuh gurami. Biarkan sampai minyak mendidih. Gulirkan gurami pada tepung bumbu sampai rata, kemudian pelan-pelan masukkan dalam minyak panas. Jaga agar daging gurami bisa mengembang dengan baik dikedua sisinya. Setelah kering merata, angkat, tiriskan.
Kalau cara anda menggoreng baik dan benar, maka sang gurami goreng bisa berdiri dengan kedua bagian tubuhnya yang seolah sayap mengembang.
Sajikan dengan sambel kecap atau sambel terasi.
Kalau sambel kecap atau sambel terasi,  masa juga harus saya buatkan resepnya?
Eiiitsss….jangan lupa lalapannya, ya?


bersambung…..




Minggu, 14 Agustus 2011

"ANEKA BOGA PENGGUGAH SELERA" ( 6 )

Tulisan bersambung:

(Catatan tentang kuliner dari yang biasa sampai yang “aeng-aeng”)
-Bahan dan foto dari berbagai sumber-

Bagian Keenam

 Mie Ayam Jamur


Dari daratan Cina merambah kepelosok Nusantara….

     Mustahil kalau ada orang yang bilang tak kenal makanan yang satu ini: Mi, Mie atau Bakmi.
Makanan berbentuk tipis panjang yang dibuat dari tepung ini dikenal luas diseluruh penjuru dunia dengan bermacam nama. Setidaknya ada 3 bangsa yang mengaku sebagai penemu pertama mi: Cina, Arab dan Italia. Tapi berdasarkan penelitian ditemukan bahwa tulisan tertua tentang mi berasal dari Dinasti Han Timur (Cina, antara tahun 25 – 220 M).
Barangkali orang Indonesia mengenal mi (di Jawa disebut bakmi) dari orang Cina yang terkenal sebagai imigran dan pedagang ulet yang berkelana sampai kebenua mana saja.  
Bahan baku mi beraneka macam. Ada yang dari tepung beras, gandum (terigu) bahkan dari tepung ubi atau singkong.
Yang asli dari Cina berwarna kuning atau putih, dibuat dari tepung terigu.

     Ibu saya sangat ahli membuat bakmi goreng. Pada waktu jaman ‘malaise’ (paceklik, susah), sekitar tahun 60-an, orang harus antre untuk membeli (nyaris semua) bahan makanan. Ibu pun mengambil  keputusan ‘cerdas’ (karena kepepet). Makanan pokok yang sehari-harinya nasi diganti dengan nasi jagung atau bakmi. Karena untuk membeli jagung atau bakmi tidak perlu antri.


Saya ingat sering disuruh Ibu untuk membeli beberapa kilo bakmi basah berwarna kuning di pasar Gang Baru (daerah Pecinan) didekat pasar Johar Semarang.  
Setelah itu saya menunggu dengan perut keroncongan sambil mencium aroma sangat sedap yang marak dari dapur dimana Ibu sedang memasak bakmi goreng.
Itulah “bakmi Jowo” terlezat yang bisa saya nikmati.
Barangkali karena sudah sangat kelaparan.
Di kota Semarang dahulu kala bakmi Jowo dijajakan keliling kampung dengan dipikul atau memakai gerobak dorong. Sekarang menu itu sudah merambah sampai keluar kota.

Inilah rahasia resep bakmi Jowo Ibu saya:
Bahannya hanya mi kuning, daging ayam bagian dada, udang (kalau suka). Bisa juga ditambah dengan telur ayam atau bebek.  Sayurannya hanya sedikit daun kol, sawi, daun bawang dan seledri. Bumbunya bawang merah dan putih, kemiri, merica butiran (dulu belum ada merica bubuk), garam, kecap asin dan kecap manis.
Cara membuatnya sederhana, rebus mi kuning sampai mengembang. Tiriskan. Daging ayam dan udang juga direbus. Sisakan kaldu ayamnya untuk tambahan bumbu. Telur bisa didadar atau dicampur pada waktu menumis bumbu. Bumbu lain dihaluskan.
Lalu tumis semua bumbu yang sudah dihaluskan sampai baunya harum. Masukkan daging ayam yang sudah disuwir suwir (disayat kecil) dan udang. Tambahkan telur (kalau tidak suka, telur didadar dan diiris tipis). Tuang sedikit kaldu ayam. Tutup wajan sebentar, tunggu sampai warnanya berubah. Tambahkan daun kol dan sawi, baru masukkan mi kuning dengan dibubuhi garam, kecap asin dan manis sesuai selera. Aduk sampai semua bumbu menyatu dengan mi.
Sajikan hangat dengan ditaburi bawang goreng dan irisan daun seledri.
Yang suka acar bisa menambah dengan acar ketimun dan wortel untuk penggugah selera. 
Untuk membuat bakmi godog (rebus) prinsipnya hampir sama, hanya kuah kaldunya diperbanyak tapi kecap nya dikurangi.

     Di Jakarta terdapat banyak sekali warung bahkan restoran modern yang menjual makanan dengan menu andalan bakmi. Warung Bakmi Jowo bisa ditemukan dimana-mana. Maklum penduduknya kebanyakan pendatang dari Jawa, yang pasti sesekali merindukan kuliner daerah asalnya. Saya yakin dikota besar lain pasti juga terjadi hal yang sama.

     Seiring perjalanan waktu, maka menu bakmi berkembang menjadi sangat beragam.
Yang sangat terkenal adalah mi ayam. Mungkin karena cara pembuatannya yang mudah, murah dan praktis. Para pekerja kantoran yang kantongnya ‘cekak’ biasanya memilih menu yang tidak menguras kantong ini. Menu mi ayam bisa dikombinasi dengan bakso, pangsit dan lain-lain yang semakin membuat lidah menari-nari.
Walaupun sekarang banyak diproduksi mi instan bermacam merk dengan berbagai rasa, namun pesona mi ayam tetap tak tergoyahkan.

     Menu sederhana tapi enak rasanya ini sangat mudah dibuat. Bahan utamanya hanya mi kuning dan daging ayam serta sedikit sayuran (biasanya caisim dan daun bawang).
Kalau mau komplit bisa ditambah jamur, bakso atau pangsit. Bumbunya hanya bawang merah dan putih, kecap asin, kecap ikan, merica dan garam.
Cara pembuatannya juga sangat mudah. Masukkan mi dalam air mendidih sampai mi empuk dan mengembang. Tiriskan. Rebus ayam sampai empuk. Sisihkan kaldunya untuk dicampur dengan bumbu-bumbu yang sudah dihaluskan. Bubuhi kecap ikan, kecap asin. merica dan garam secukupnya. Ada juga yang menumis daging ayamnya lebih dahulu dengan kecap asin dan kecap ikan, sehingga warnanya jadi kecoklatan. Terserah selera masing-masing.
Sajikan mi dengan ayam yang sudah dipotong dadu. Tambahkan bakso, jamur atau pangsit. Siram dengan kuahnya. Bubuhi dengan irisan daun bawang, caisim dan bawang merah goreng. Yang suka pedas bisa menambahkan saus cabe dan atau saus tomat yang bisa dibeli botolan.
Sebaiknya mi ayam disantap selagi hangat. Sedaaaaaaaap…….


Suatu ketika dalam sebuah resepsi pernikahan putri seorang kawan, saya pernah terpesona dengan sajian menu ekstra disalah satu gubugnya. Disitu tertulis nama: “Mi Kangkung”.
Wah, ini pasti menu mi modifikasi. Dengan perasaan ingin tahu sayapun mencoba.
Ternyata rasanya lebih dari lumayan. Iseng saya amati sambil sedikit bertanya pada ‘koki’ yang sedang sibuk melayani menyiapkan mi kangkung untuk tamu lain yang sedang antri. Bahannya tampaknya cukup sederhana. Mi basah, kangkung akar yang cuma dipetik daunnya saja, telur burung puyuh rebus dan daging ‘slice’ (diiris tipis). Bumbunya terdiri dari bawang merah dan bawang putih, merica, garam, kecap asin atau kecap ikan, kecap manis dan ebi (udang kering). Ada juga arak Cina (ang ciu), tentu ini bumbu ‘fakultatif’,  boleh dipakai boleh tidak. Semua bumbu dihaluskan dan masukkan dalam kaldu ayam. Rebus sampai mendidih.
Cara penyajiannya: mi, daun kangkung dan daging dimasukkan dalam air kaldu ayam yang mendidih. Angkat, tiriskan, sajikan dalam mangkuk bakso. tambahkan telur puyuh rebus, tuangi sedikit kaldu, taburi dengan bawang merah goreng dan irisan daun seledri.
Hmmmmm…..kalau tidak malu dengan tamu lain, (juga karena ingat kalau telur burung puyuh berkolesterol tinggi), saya pasti ingin terus minta tambah.


bersambung…..



Sabtu, 13 Agustus 2011

"ANEKA BOGA PENGGUGAH SELERA" ( 5 )

Tulisan bersambung:

(Catatan tentang kuliner dari yang biasa sampai yang “aeng-aeng”)
-Bahan dan foto dari berbagai sumber-

Bagian Kelima

 Rujak buah



 Dari buah, cumi sampai….moncong sapi!!

     Makanan yang satu ini adalah favorit para gadis dan perempuan pada umumnya.  Apalagi perempuan yang sedang hamil muda.
Walaupun tidak menutup kemungkinan banyak pula para pria yang ‘demen’ (suka) bahkan sampai‘kedanan’ (tergila-gila) dengan makanan ini. Namanya rujak.
Siapa sih yang tak kenal dengan rujak?
Terbuat dari aneka macam buah, biasanya buah yang masih ranum, dengan bumbu yang rasanya manis, asem dan pedas. Ditanggung bisa membuat mata merem melek.

     Mantan pacar saya (kini sudah jadi pendamping hidup) dahulu punya lima buah pohon mangga didepan rumahnya. 3 pohon mangga harum manis, 1 mangga gedong (gincu) dan 1 pohon mangga Indramayu.
Kalau sedang musim mangga, dia suka mengundang teman-temannya untuk 'ngrujak' diteras depan rumahnya yang menghadap jalan raya. Saya tentu saja sering pula diajak ikut pesta rujakan a la  gadis remaja yang rata-rata keranjingan (suka sekali) rujak itu. Bahan utamanya mangga mengkel yang bisa diambil sesukanya.
Tapi tentu bukan karena soal rujak itu kalau saya kemudian memutuskan untuk menikahinya.  
Sepele amat yak?


Rujak buah atau ada pula yang menyebut rujak manis biasanya merupakan paduan berbagai macam buah. Yang populer, paling tidak terdiri dari mangga muda, kedondong, bengkuang, mentimun atau krai, nanas, belimbing dan papaya yang masih ranum. Ada yang nekat menambah dengan ubi jalar dan buah buni atau semangka serta buah-buahan lain. Pokoknya asal rasanya manis atau asem.
Bumbu rujak manis sangat bervariasi. Tergantung kebiasaan dan selera masyarakat masing-masing daerah.
Tapi pada umumnya terdiri dari gula jawa, asem jawa, cabe merah dan rawit, terasi (bagi yang suka). Di Semarang bumbu rujak menjadi tambah khas rasanya karena ditambah dengan buah pisang batu mentah. Konon ada yang suka menambah lagi dengan kecap manis, gula pasir dan kacang goreng yang ditumbuk kasar.
Namanya juga selera. Jangan diperdebatkan.
Semua buah diiris sesuai selera, ada yang senang tipis ada yang suka bungkahan.
Bumbu rujaknya sendiri di ‘uleg’ (dihaluskan), yaitu semua bahan bumbu dihaluskan bersama kemudian ditambah dengan air matang secukupnya sampai terbentuk semacam adonan berwarna cokelat muda (warna gula jawa).

     Rujak disajikan dalam piring, dimana buahnya disiram bumbu atau bumbunya disajikan tersendiri. Malah ada lagi yang suka menambah dengan garam halus.
Sekali lagi tergantung selera.
Rujak buah bisa dibuat dengan cara ditumbuk, yaitu bahan buah bersama bahan bumbu ditumbuk bersama-sama. Itulah yang disebut “rujak bebeg”. Adapula yang semua bahan buahnya diserut dan dinamakan “rujak serut”.

     Seperti pernah saya utarakan, masyarakat Indonesia (terutama kaum wanitanya) terkenal sangat pandai ber improvisasi dan membikin modifikasi menu masakan.
Oleh sebab itu setiap daerah bisa mempunyai menu masakan yang khas dan istimewa.
Demikian pula dibidang ‘per-rujak-an’ ini.

     Di Surabaya ada menu spesial bernama “Rujak Cingur”.
Ini betul-betul menu khas dan istimewa. Sebab selain terdiri dari buah-buahan, rujak itu dicampur juga dengan sayuran rebus, tahu atau tempe goreng dan…..”Cingur”!
Bagi anda yang belum tahu apa itu ‘cingur’, baiklah saya buka rahasia disini. Cingur adalah daging (sapi atau kerbau) yang berasal dari daerah sekitar moncong (mulut) sampai hidung. Rasanya kenyal-kenyal empuk gimanaaaa giituuuu…
Jadi walaupun namanya rujak, ternyata wujud rujak yang satu ini sangat mirip pecel karena ada sayurannya juga. Sayuran yang dipakai biasanya kangkung, kacang panjang dan tauge atau kecambah. Adapun bahan buahnya terdiri dari kedondong, mangga muda, nanas, belimbing, ketimun atau krai (ketimun yang berwarna hijau), serta bengkuang.
Saking kreatifnya, bahan itu dirasa masih kurang. Jadi perlu ditambah daging cingur rebus, tempe dan tahu goreng serta kerupuk. Orang Jawa gitu lhoooooh.

     Bagi yang belum pernah mencicipi rujak cingur, jangan heran kalau melihat ‘penampilan fisik’ nya setelah disajikan dalam piring dihadapan anda.
Jadi jangan terkejut. Rujak cingur berwarna hitam kelam bak malam tiada berbintang (jiaah!?).
Lebih dramatis lagi karena bercampur warna hijau dimana terselip warna-warna buah. Terkadang masih ditutup dengan kerupuk diatasnya. Lengkap kap kap.
Mengapa rujak cingur berwarna hitam?
Rahasianya terletak pada bumbunya. Bumbu rujak cingur hampir sama dengan bumbu rujak biasa.  Yaitu cabe merah dan rawit, asem dan gula jawa serta terasi. Ada juga yang suka menambah dengan buah pisang batu mentah.
Adapun  yang membuat warna jadi hitam itu berasal dari petis udang. Petis adalah bumbu semacam pasta terbuat dari ikan laut atau udang. Warnanya memang asli hitam!
Tapi walaupun warnanya hitam ‘njleketrek’ (tidak menarik) begitu, rujak cingur punya rasa yang tak diragukan lagi nikmat dan ....pedasnya.
"Diancuuuuk…uenakee pollll reek!!" Pekik arek Suroboyo.

Orang Betawi punya menu lain lagi. Namanya sekondang Tugu Monas: “Rujak Juhi”.
Juhi adalah nama lain dari cumi-cumi (sotong atau nus, lat: loligo loligimidae) yang telah dikeringkan.
Bahan rujak juhi tidak seperti bahan rujak biasa, karena yang dominan disini malah mi kuning dan juhinya. Buahnya hanya ketimun, ditambah tahu, kentang dan daun selada.
Membuatnya sederhana saja, mi kuning direbus sampai matang, juhi dipanggang atau digoreng sesuai selera, kemudian di suwir-suwir. Kentang dikukus, setelah itu dikupas dan dipotong tipis kemudian digoreng. Tahu bisa direbus atau digoreng. Terserah selera. Ketimun diiris tipis-tipis, daun selada disajikan secukupnya.
Bumbu rujak juhi hampir seperti bumbu pecel, yaitu kacang tanah, bawang putih, cabe merah dan rawit. Semua bumbu tersebut digoreng dulu. Setelah itu baru dihaluskan dengan ditambah cuka dan gula pasir.
Rujak juhi disajikan dengan cara: atur mi kuning,  tahu dan kentang serta suwiran juhi dipiring. Siram dengan bumbu lalu tambahkan daun selada dan kerupuk mi atau emping.
Jadi dah! Kate orang Jakarte.
Di Jakarta yang terkenal rujak juhinya adalah Resto “Gado-gado Boplo” atau Warung Bang Tata di jalan Veteran diseberang Istana Negara.

     Wong kito galo (orang Palembang) tidak mau kalah. Meskipun sudah punya menu tenar bernama Pempek, ternyata mereka juga punya menu khas yang pakai nama rujak. Namanya “Rujak Mie”.
Bahan dan bumbunya sangat sederhana walaupun tak sesederhana rasanya.
Yang diperlukan hanya mie basah, so’un kering, ebi (udang kering) dengan sayuran berupa taoge dan ketimun. Adapun bumbunya terdiri dari bawang merah dan putih, gula merah, cabai rawit, garam dan yang tidak boleh ketinggalan adalah cuka. Orang Palembang sangat suka cuka.
Cara membuatnya juga mudah saja. Mie basah direbus, so’un kering direbus sebentar sampai lunak. Ebi disangrai (digoreng tanpa minyak).
Siapkan bumbunya. Gula merah direbus dalam air sampai mencair semua, setelah itu air gula disaring lalu masukkan bumbu lain yang telah dihaluskan. Masak sampai mendidih kemudian dinginkan. Setelah bumbu dingin baru dituangi cuka sesuai selera.
Sajikan mie, soun, taoge dan ketimun yang diiris seperti dadu dalam piring. Siram dengan bumbu lalu taburi dengan ebi.
Gampang sekali kan?

Smakelijk eten meneer en mevrouw……(selamat makan tuan dan nyonya).


bersambung…..



Kamis, 11 Agustus 2011

"ANEKA BOGA PENGGUGAH SELERA" ( 4 )

Tulisan bersambung: 


(Catatan tentang kuliner dari yang biasa sampai yang “aeng-aeng”)
-Bahan dan foto dari berbagai sumber-


Bagian Keempat


 Pecel Pincuk


Yang sehat bergizi belum tentu disukai…….

     Kalau tidak salah ingat, pelajaran tentang makanan “Empat sehat Lima sempurna” sudah saya dapatkan sejak kelas 3 SR (Sekolah Rakyat, kini SD).

Waktu itu setiap hari para murid sekolah rakyat mendapat jatah minum susu bantuan dari Unicef. Dibagikan oleh para guru dengan memakai cangkir yang ada logo dua tangan bersalaman.
Konon itu untuk mendukung program “Lima Sempurna”.
Saya selalu minum susu jatah itu dengan amat sangat terpaksa. Soalnya sejak kecil saya sangat tidak suka minum susu. Makan sayurpun saya sangat jarang.
Seperti sudah saya ceritakan (pada kisah tentang nasi goreng), sejak kecil saya pecinta berat nasi goreng.

     Kedua orang tua saya sama sama bekerja, jadi sehari-hari saya hanya dilayani oleh pembantu. Permintaan saya untuk makan nasi goreng selalu dituruti, daripada saya tidak mau makan. Saya makan sayur hanya pada hari Minggu, kalau Ibu sedang ada dirumah. Itupun hanya sayur bening atau sayur lodeh yang disajikan pada waktu makan siang atau malam. Untuk makan pagi saya tetap minta dibuatkan nasi goreng.
Oleh sebab itu saya tumbuh sebagai anak yang berbadan kurus.
Mungkin (atau barangkali malah pasti) saya kurang gizi.
     Saya yakin tidak semua orang tua bisa dengan mudah mendidik anaknya makan sayuran sejak dini. Apalagi kalau keduanya sama-sama sibuk bekerja, sehingga anak ditinggal dalam asuhan para pembantu.
Makanan yang disajikan oleh pembantu tentu yang bisa disiapkan dalam waktu singkat. Mi instan, misalnya. Walaupun tentu ada juga pengecualiannya.
Itu sebabnya banyak generasi muda sekarang yang tidak suka makan sayuran.

     Mari kita tengok sebentar kebelakang. Mengapa generasi kakek nenek kita dahulu lebih tahan serangan penyakit dan rata-rata lebih panjang usianya? Salah satu alasan diantaranya adalah karena mereka selalu menyantap makanan berserat, yaitu sayuran. Waktu itu jelas belum ada atau masih jarang makanan siap saji (instan) seperti sekarang.

     Sayuran apa yang memenuhi kriteria untuk mewujudkan menu “4 Sehat? Banyak sekali.
Daftar dibawah ini adalah contoh beberapa sayuran yang pada umumnya sangat murah dan mudah didapat, baik ditukang sayur maupun dipasar tradisional apalagi di pasar super dan pasar ‘hyper’:  
-Bayam (amaranthus tricolor), daunnya mengandung protein tinggi, zat besi, kalsium dan karoten serta asam amino metionina dan lisina.
-Kacang panjang (vigna sinensis), yang mengandung tepung sampai 58% dan protein 24% serta 1% lemak.
-Kacang tolo (Vigna unguiculata), mengandung protein dan minyak.
-Kacang merah (vicia faba), banyak mengandung folat (vitB9), vitamin B1, K, fosfor, mangan,protein, magnesium, potasium dan tembaga.
-Jagung (zea mays), yang mengandung kalium, gula, alkalida dan vitamin E.
-Kangkung (ipomoca aquatica) yang merupakan sumber mineral dan zat besi.
-Kol atau kubis (brassica oleracea) mengandung vitamin A,B dan C serta lemak.
-Tomat (lycopersicon esculentum), kaya vitamin A, B dan C selain zat solanin dan saponin (khususnya tomat hijau).  
-Tauge atau kecambah yang dibuat dari biji kacang hijau (phaseolus radiatus) konon bisa menunjang kesuburan.
-Lobak (raphanus sativus) yang daun dan buahnya mengandung glikosida.
-Kentang (sonalum tuberasum), umbinya mengandung vitamin C, tiamin dan riboflavin serta mineral seperti besi, kalsium, magnesium, fosfat, kalium dan belerang. Disamping itu kentang juga mengandung banyak air, karbohidrat dan protein.

     Sesungguhnya nenek moyang kita dulu faham betul dengan manfaat yang diperoleh dari mengkonsumsi sayuran.
Buktinya hampir setiap daerah di Indonesia mempunyai masakan khusus yang terbuat dari paduan beberapa macam sayuran.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur ada pecel dan urap.
Di Jawa Barat ada karedok dan di Jakarta ada Gado-gado.
Di daerah lain pasti ada juga makanan yang unsur utamanya sayuran.
Pecel, karedok dan gado-gado memakai bumbu terbuat dari kacang tanah (arachis hypogea) yang mengandung 59% minyak dan 34% protein. Urap memakai bumbu parutan kelapa (cocos nucifera) yang kaya lemak.

Pecel sudah terkenal namanya dimana-mana.
Tapi entah mengapa yang paling terkenal adalah “Pecel Madiun”. Nama ini sudah nyaris menyamai legenda “GudegYogya”.
Pada dasarnya sayuran untuk bahan pecel hampir sama: Kangkung, bayam, kacang panjang, tauge. Ada yang menambah dengan mlandingan (lamtoro), bunga turi, daun singkong dan atau daun papaya. Tergantung selera.
Semua sayuran direbus, kemudian dihidangkan dengan diberi bumbu pecel.
Bahan dari bumbu pecel adalah: kacang tanah yang digoreng atau disangrai, cabe merah dan cabe rawit (sesuai selera), daun jeruk, bawang putih, kencur, asem jawa, gula merah, terasi, garam dan perasan air jeruk limau. Semua bahan tersebut diuleg jadi satu (atau ditumbuk kalau jumlahnya banyak, atau dengan memakai blender).
Setelah bahan tercampur rata baru dituangi air hangat secukupnya.
Ada pula yang memakai cara dengan dimasak sampai keluar minyaknya.
Kini terbentuklah adonan setengah encer yang nyooooossssss…rasanya.
Pecel Madiun terkenal memakai bumbu yang sangat enak tapi…..juga sangat pedas!!!
     Di Jakarta ada warung Pecel Pincuk Madiun yang sangat enak. Tempatnya di area parkir depan Taman Pahlawan Nasional Kalibata.Disitu tersedia pecel, urap,  sambel tumpang dan 'teman-teman' nya yang semua berbahan dasar sayuran.
 
     Bahan sayuran untuk membuat ‘Urap” sama dengan pecel. Yang membedakan hanya bumbunya.
Bumbu urap terdiri dari: parutan kelapa muda yang sudah dikukus,  cabai merah dan rawit, gula merah, terasi, garam, bawang merah dan putih. Cabai dan kawan kawannya dihaluskan, kemudian campur dengan parutan kelapa. Disajikan dengan cara mencampur rata sayuran dan bumbunya.
Masyarakat kita terkenal sangat pandai ber improvisasi dalam hal memasak, oleh karena itu masih banyak menu pecel dan urap dibeberapa daerah yang  terkena 'modifikasi'.
     Ditanah Pasundan (Jawa Barat) lain lagi ceritanya. Orang Sunda terkenal suka sekali makan lalap yang terdiri dari daun-daunan. Konon hanya daun jendela, daun pintu dan daun telinga saja yang tidak dijadikan lalapan.
Mereka juga suka sayuran yang ‘fresh from the garden’.
Artinya lebih suka makan sayuran tanpa dimasak lebih dahulu.
Oleh sebab itu orang Sunda punya “Karedok”.
Sayuran untuk membuat karedok hampir sama saja dengan yang untuk membuat pecel.
Bedanya, sayuran untuk karedok dibiarkan mentah tanpa dimasak lebih dahulu.
Adapun bumbu karedok nyaris sama benar dengan bumbu pecel.
Entah siapa meniru siapa.
Sama sulitnya dengan teka teki kuno: lebih dahulu mana telur dengan ayam.
Yang jelas rasa karedok memang lebih segar, karena kencur yang dipakai untuk bahan bumbu lebih banyak dan masih ditambah pula dengan daun kemangi yang dari namanya saja sudah jelas bikin wangi.

Nah, orang Betawi lain lagi ceritenye.
Mereka juga punya menu sayuran yang mirip dengan pecel, tapi ditambah dengan tahu atau tempe plus telur rebus. Mungkin karena sayuran ditambah bukan sayuran, maka menu itu mereka namakan “Gado-gado”. Barangkali lho. Namanya juga cuma nebak.
Bahan sayuran untuk gado-gado juga mirip dengan bahan untuk pecel. Tapi orang Betawi rupanya sangat suka buah paria (Jw: Pare, Lat: momordica charantial).
Jadi selain kangkung, bayam, tauge dan daun singkong atau daun papaya, hampir pasti selalu ada paria, yang menurut sebagian orang rasanya pahit itu. Semua bahan direbus.
Telur ayam (bebek)nya juga direbus. Hanya tempe atau tahu saja yang digoreng.
Bumbu gado-gado juga sangat mirip bumbu pecel tapi ada yang ditambah dengan santan kental, lalu dimasak sampai keluar minyaknya.
Gado-gado disajikan dengan tambahan kerupuk udang atau kerupuk warna warni khas Betawi atau emping melinjo.

     Di Jakarta ada sebuah warung gado-gado yang namanya sangat melegenda, yaitu “Gado-gado Boplo”. Saking terkenalnya, kini warung kecil diujung jalan didaerah Boplo itu sudah berkembang pesat menjadi beberapa buah restoran megah.
Menu yang dihidangkan pun sudah makin bervariasi. Tidak melulu menjual gado-gado.


bersambung….

Selasa, 09 Agustus 2011

"ANEKA BOGA PENGGUGAH SELERA" ( 3 )

Tulisan bersambung:

(Catatan tentang kuliner dari yang biasa sampai yang “aeng-aeng”)
-Bahan dan foto dari berbagai sumber-


Bagian Ketiga

Bubur Kacang Hijau


Kisah “Panji Klanthung” dan bubur kacang hijau di ibukota…..

     Awal tahun 70-an ketika belum mendapat seorangpun ‘sponsor’ yang mau membayar uang kuliah saya di Perguruan Tinggi, maka saya sering ‘lari’ ke ibukota.
Ada seorang paman saya yang sudah lama tinggal di Jakarta dan menjadi guru SMA.
Sebagai seorang “Panji Klanthung” (lontang lantung, pengangguran), tak banyak yang saya kerjakan di Ibukota Republik yang konon lebih kejam dari Ibu Tiri itu. Paling-paling jalan-jalan melihat keindahan kota (yang waktu itu) terbesar dan termegah se Indonesia. Saya betul-betul jalan dalam arti yang sesungguhnya. Karena cekak nya uang yang ada dalam saku saya. Jadi jangan heran kalau saya pernah berjalan kaki dari Lapangan Monumen Nasional sampai Jalan Radio Dalam, dimana paman saya mengontrak rumah. Waktu itu Jalan Soedirman-Thamrin masih berupa jalan besar dua jalur yang kiri kanannya rindang dengan pepohonan besar. Cukup teduh bagi para pejalan kaki.
Sesampai di bundaran CSW dekat kantor Kejaksaan Agung saya menuju pasar Mayestik untuk beristirahat sejenak sebelum jalan lagi melewati Jl. KH. Ahmad Dahlan terus ke Radio Dalam. Di Pasar Mayestik inilah saya punya langganan penjual bubur kacang hijau dan ketan hitam

Semangkok bubur kacang hijau campur ketan hitam itu sudah cukup membuat perut saya kenyang. Biasanya dapat ekstra segelas air teh tawar gratis.
Seingat saya pada tahun 70-an itu, yang dominan ‘menghias’ pasar Mayestik dan nyaris disemua pinggir jalan (kaki lima) adalah para pedagang bubur kacang hijau dan ketan hitam. Saya tidak melihat ada seorangpun penjual bubur ayam. Tidak ada juga penjual bubur ayam yang keliling keluar masuk kampung.



Makan Sabu (Nyabu) siapa takuuut……?

     Awal tahun 1983 saya alih tugas mengikuti seorang Pejabat Tinggi Negara ke sebuah Departemen di Jakarta. Untuk sementara saya mondok di Jl. Dharmawangsa yang dekat dengan Pasar Blok A dan juga Blok M. Kalau sedang tidak berdinas, saya suka jalan-jalan (kini dengan naik Bajaj) ke Blok M. Disitu saya melihat masih banyak juga penjual bubur kacang hijau dan ketan hitam. Sekarang menunya bertambah dengan roti bakar. Tentu saja kenangan nostalgia makan bubur kacang hijau membersit dalam relung hati.
     Saya sudah tidak ingat dengan pasti dimana letaknya, waktu tiba-tiba saya menemukan sebuah warung yang menjual bubur ayam. Tapi masih dikawasan Blok M itulah adanya. Bubur ayam? Itulah pertanyaan yang menggelayuti pikiran saya. Makanan macam apa pula itu. Terus terang tapi tidak terang terus, saya masih merasa asing dengan nama bubur yang satu ini.
Waktu masih tinggal di Semarang saya hanya mengenal bubur merah putih, bubur sumsum atau bubur candil. Tentu juga bubur kacang hijau dan ketan hitam.
Tapi yang paling terkenal di Semarang pastilah Soto Ayam, bukan bubur ayam.

     Rasa penasaran itulah yang membuat saya ingin mencoba merasakan sendiri apa dan bagaimana si bubur ayam itu gerangan. Barangkali bubur yang dimasak dengan kaldu dan daging ayam, begitu perkiraan saya.
Memakai mangkuk yang lebih besar dari mangkuk Soto Kudus, bubur yang disodorkan kemuka saya itu masih mengepul uapnya. Buburnya sendiri hanya tampak samar-samar karena permukaannya dipenuhi dengan sayatan daging ayam, cakwe, potongan daun seledri dan krupuk warna warni. Dimeja tersedia kecap dan sambal botol tanpa merek.
Ternyata buburnya memang masih panas sekali. Jadi untuk mengurangi rasa panas, alih-alih meniup dengan mulut, saya putuskan saja ‘mengublak’ (mengaduk jadi satu) semua yang ada dalam mangkuk itu. Hmmmm…aromanya lumayan juga…dan setelah mengambil satu suapan, wooooo…it’s not bad man!!
Lumayan juga nih bubur. Rasa gurih bubur dan sayatan daging ayam bercampur dengan rasa asin cakwenya serta rasa pedas sambal membuat sensasi rasa yang seperti iklan permen Nano-nano. Cuma tidak ada rasa asemnya saja.
     Sejak itu saya sering jajan bubur ayam. Tidak hanya di satu tempat.
Entah bagaimana dari tahun ketahun kedai bubur ayam makin menjamur diseantero Ibukota. Bahkan ada yang berkeliling dari kampung kekampung. Rupanya Jakarta sudah terkena wabah bubur ayam. Saya sampai hafal beberapa tempat yang bubur ayamnya recommended dari mulut kemulut. 

Salah satu diantaranya yang mangkal pagi hari di dekat TPU Karet. Penjualnya seorang laki-laki asal Puerto Rico, eh, maksud saya, Purwokerto. Sayangnya dia hanya buka pagi hari saat orang-orang berangkat ke kantor saja. Kadang-kadang saking banyaknya pembeli, jam 8 pagi saja gerobaknya sudah bersih. Rasa buburnya sendiri memang nyooossss.... Dia hanya mengandalkan rasa bubur asli tanpa tambahan kuah apapun. Paling-paling hanya ditambah kecap saja.
Tapi justru itu yang membuat orang balik dan balik lagi. 

Ada satu lagi warung bubur ayam istimewa yang mangkal di Jalan Tanjung. Mentang-mentang jualan didaerah elite yang dekat dengan rumah Klan Soeharto di Jalan Cendana, maka hampir semua pembelinya naik mobil. Yang naik sepeda motor bisa dihitung dengan jari. Yang naik sepeda onthel atau berjalan kaki pasti hanya para pembantu sekitar daerah itu yang diutus majikannya untuk cari sarapan.
Bubur ayam sekarang sudah jadi makanan para elite.
Apalagi ketika penyanyi dangdut rock Alam (yang adiknya Vetty Vera) mempopulerkan lagu “Nyabu”.
Orang sudah tidak takut lagi Nyabu alias NYArap BUbur.


Belum ke Manado kalau belum nyoba 3 (tiga) B…….

     Sekitar pertengahan tahun 1984, saya berkesempatan ikut kunjungan kerja ke ibukota Provinsi Sulawesi Utara. Ini untuk pertama kalinya saya datang ke Menado atau Manado. Kotanya bersih dan asri. Penduduknya selalu tampil perlente. Baik laki-laki apalagi kaum hawa nya. Mereka semua senang tampil dengan pakaian bagus berikut perhiasan yang bagus pula. Pria Menado biasanya memakai jam tangan merk terkenal yang berwarna emas. Saya tidak tahu pasti apakah jam tangan itu asli atau aspal.
Satu lagi yang menjadi catatan saya, orang Menado rata-rata suka menyanyi dan pandai 'ajojing' (berdansa). Budaya peninggalan kolonial tampak jelas masih membekas. Terlihat dari banyaknya penduduk yang masih fasih berbahasa Belanda.
     Ada pemeo miring tentang Menado. Anda belum dianggap pernah berkunjung ke Menado kalau belum melakukan 3  (tiga) B. Apakah gerangan itu?
B yang pertama Bunaken. Ini adalah taman bawah laut yang sangat indah. Setara dengan the Great Barierre Reef di perairan Australia. Di Bunaken ini anda bisa melakukan Scuba Diving, menyelam dengan peralatan selam (scuba) untuk melihat keindahan taman bawah lautnya. Atau bagi yang tidak pandai berenang, anda bisa menyewa perahu Catamaran (perahu yang punya dek ganda). Dek bawahnya terbuat dari kaca tembus pandang untuk melihat pemandangan bawah laut cukup dari atas perahu saja.

B yang kedua adalah Bubur Menado, ini jelas nama makanan yang oleh orang setempat disebut dengan Tinutu’an. Bubur Menado sangat khas, sangat lezat dan sehat.
Terbuat dari campuran beberapa sayuran, diantaranya jagung manis, kemangi, daun katuk, bayam atau kangkung ditambah dengan ubi jalar, labu kuning atau kentang. Memakai bumbu jahe, sereh dan daun kunyit yang dipotong-potong, membuat aromanya sangat khas. Belum lagi ditambah aroma wangi dari daun kemangi. Setelah masak disajikan dengan ikan Roa (ikan khas Menado) yang diasinkan dan sambel terasi yang rasanya biasanya sangat pedas.
B yang terakhir mungkin hanya guyonan orang saja. 
Tapi kalau kebetulan anda bisa merasakannya juga tidak ada salahnya, mungkin malah beruntung karena B yang ini adalah Bibir Menado.  
Hahahaha…just joke bung.


bersambung…..

"ANEKA BOGA PENGGUGAH SELERA" ( 2 )

Tulisan bersambung:


(Catatan tentang kuliner dari yang biasa sampai yang “aeng-aeng”)
-Bahan dan foto dari berbagai sumber-


Bagian Kedua

Nasi Goreng

"Geef mij maar Nasi Goreng................"
("Beri saya nasi goreng", cuplikan lagu berbahasa Belanda oleh Anneke G)


Dari nasgor rumahan, nasgor kelas dunia sampai nasi campur apa saja……

     Almarhumah nenek dan ibu saya punya resep nasi goreng yang (menurut lidah saya) paling uenak sedunia. Itu sebabnya saya tumbuh menjadi seorang ‘pecinta nasgor sejati’. Padahal setahu saya rahasianya sederhana, yaitu bumbu nasi goreng  seperti biasa: cabe, tomat, bawang putih dan bawang merah ditambah dengan terasi (belacan) dan garam atau kecap (jika anda suka) secukupnya.
Konon terasi inilah yang membuat rasa nasi goreng menjadi semakin sedap.
     Satu hal lagi yang saya perhatikan, nasinya harus ‘pera’ (tidak lembek) dan tidak boleh nasi yang baru matang. Lebih bagus nasi yang sudah ‘menginap’ setidaknya semalam, asal belum sampai basi. Setelah itu nasi plus bumbunya harus digoreng dengan memakai minyak ‘jelantah’ (minyak kelapa yang sudah bekas pakai). Itu saja.
Tapi barangkali faktor tangan yang ‘mengulek’ bumbu ikut berpengaruh juga. Siapa tahu?

     Semenjak kelas 2 SMP saya hidup ‘ngenger’ dirumah Simbah Kakung dan Putri. Nasi goreng (tanpa telor) pun sudah merupakan hidangan paling mewah yang bisa saya nikmati. Sayapun sudah mulai belajar membuat nasi goreng sendiri. Kadang saya harus main improvisasi, menyesuaikan dengan bumbu yang bisa saya dapatkan di dapur.

Nasgor Kampung
Oleh sebab itu ketika saya sudah bisa mencari uang sendiri, kalau masuk ke warung atau restoran, yang saya pesan pasti nasi goreng.
Saya seperti tak pernah bosan dengan menu yang satu itu.
Dikota Semarang ada penjual "Nasi Goreng Babat" yang membuat saya 'kedanan' (tergila-gila). Warungnya terletak didekat Jembatan Kali Mberok, disebelah 'Gedung Papak'. Disitulah anda bisa memesan nasi goreng yang dicampur jerohan sapi sesuka anda. Ada Babat, usus, paru, limpa dan lain-lain. Telurnya bisa dicampur, diceplok atau dibuat dadar. Tergantung pesanan. Rasanya? Wah, jangan tanya deh, lebih baik kalau anda berkesempatan pergi ke Semarang, coba saja anda pergi kesana. Pasti anda akan ketagihan.
Rupanya pecinta nasgor bukan saya sendiri. Buktinya orang-orang Belanda (dan orang asing lainnya) yang pernah hidup atau tinggal lama di Indonesia juga sangat ‘gandrung’ pada nasi goreng.

     Sewaktu sempat berkunjung kenegeri Belanda, saya sering mendengar lagu yang kalau tidak salah ingat, dinyanyikan oleh Anneke Gronlog, yang berkisah tentang nasi goreng dan kerupuk udang. Ternyata orang Belanda (dinegeri Belanda) memang sangat suka dengan nasi goreng. Terutama nasi goreng a la Indonesia. Harap maklum direstoran internasional biasanya tersedia berbagai macam menu nasi goreng atau ‘fried rice’, dengan berbagai istilah pula. Ada “Thai Fried Rice” ada “Chinese Fried Rice”, “European Fried Rice” dan lain sebagainya.
Oleh karena itu sampai sekarang saya masih tidak mengerti apakah nasi goreng itu sebetulnya menu asli Indonesia atau menu adaptasi dari mancanegara.

Sego Gurih (Nasi Uduk)
     Yang jelas saya tahu pasti resep asli Indonesia adalah “sego gurih” (nasi -yang rasanya- gurih). Orang Betawi menyebutnya dengan nama “Nasi Uduk”. Jika anda kebetulan berdomisili disekitar ‘Jabedetabog’ (Jakarta, Bekasi, Depok, Tangerang dan Bogor) maka pasti anda tak asing dengan menu yang bisa kita temukan sehari-hari dimana saja. Nasi yang dimasak dengan bumbu santan dan (kadang-kadang diberi) daun pandan ini biasa dimakan dengan lauk yang digoreng. Bisa tempe, tahu, ayam, daging, jerohan sapi (paru, babat, usus, limpa dan teman-temannya) serta telor. Lalapannya daun kemangi dan timun ditaburi dengan bawang goreng.
Nasi uduk bisa kita temukan nyaris dimana saja dan bisa dimakan kapan saja, pagi, siang, sore, malam bahkan tengah malam.

 Nasi Kuning
Kalau sego gurih (nasi uduk) berwarna putih, maka ada menu lain lagi yang sesuai dengan  namanya yaitu “sego kuning” (nasi kuning) yang memang berwarna kuning.
Dalam adat tradisional Jawa, nasi kuning biasa dipakai untuk ‘selamatan’ (kenduri) guna memperingati sesuatu. Misalnya untuk ulang tahun dan sebagainya. Nasi ini dimasak dengan ditambahi air kunyit sehingga berwarna kuning. Tapi tidak jarang ada yang menambah dengan santan sehingga rasanyapun jadi gurih.
     Nasi kuning biasa disajikan dengan lauk opor atau ingkung ayam, sambal goreng hati dan ampela, udang atau tahu, oseng tempe, perkedel kentang dan telur dadar yang diiris tipis. Tidak lupa kerupuk udang atau kadang ada yang menambah dengan ‘gereh’ (ikan asin). Pokoknya tergantung selera. Agar tampak lebih serasi, dihias juga dengan kemangi dan timun yang bisa dimakan sebagai lalapan.
Nasi kuning juga sering dijadikan nasi “Tumpeng” (nasi yang dibentuk seperti kerucut), untuk peringatan atau peresmian suatu proyek yang dihadiri oleh Pejabat dan banyak tamu undangan.

Nasi Rames
      Ada lagi menu nasi yang tidak kalah populernya, yang juga disenangi oleh banyak orang. Namanya “Nasi Rames”. Rames berasal dari bahasa Jawa yang artinya kurang lebih: ‘dicampur segala macam’. Jadi nasi rames ini adalah nasi putih yang diberi lauk pauk segala macam. Lauk yang ‘segala macam’ itu hampir mirip dengan yang dipakai untuk nasi kuning, ada kering/oseng tempe, sambel goreng, telor pindang atau telor dadar ditambah dengan ‘serundeng’ (kelapa parut yang disangrai dengan bumbu dan gula merah atau gula Jawa). Tak ketinggalan biasanya ada kerupuk udang, tapi tanpa lalapan.
Pokoknya nasi rames ini boleh disebut juga ‘nasi campur’. Tentu karena lauknya yang campur-campur itu.

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Begitu kata pepatah.
Maka kalau di Jawa dikenal sebagai ‘nasi rames’, dipulau Bali juga dikenal adanya menu nasi yang berlauk pauk segala macam. Namanya “Nasi Campur Bali”.

Sama dengan nasi rames Jawa, nasi campur Bali juga diberi laup pauk aneka rupa.
Yang biasa dijual di  restoran dan warung sebagai nasi campur Bali terdiri dari nasi putih, kacang goreng, sate tusuk, sate lilit, urab, lawar, tum ayam, pepes ikan, ayam sisit, udang bumbu bali, telur, ares, dan sambal matah. Yang disebut sebagai “sate lilit’ adalah sate yang menjadi kebanggan masyarakat Bali. Proses pembuatan sate ini termasuk cukup rumit dan butuh seorang yang ahli untuk mengerjakannya. Bahannya adalah daging ayam giling (sebetulnya bisa daging apa saja) yang diberi bumbu kelapa parut, lada hitam dan gula merah serta daun jeruk. Setelah semua bahan dicampur, maka bahan tersebut akan dililitkan pada sebuah tusuk sate atau yang lebih eksklusif lagi dililitkan pada sebuah batang sereh, kemudian baru dibakar. Adapun yang disebut sambal matah adalah sambal khas Bali yang dibuat dari cabe rawit yang dipotong-potong, kemudian digoreng dalam minyak kelapa sampai setengah layu. Karena dibuat dari cabe rawit, tidak heran kalau sambal ini rasanya sangat pedas dan bisa  menimbulkan selera makan.
     Tidak hanya di Bali, Di Jakartapun sekarang banyak restoran yang menyajikan menu nasi campur Bali ini. Bahkan terkadang kita dapati menu spesial ini disajikan dalam gubug khusus di perjamuan pesta perkawinan. Biasanya nasi campur Bali ini disajikan dalam piring yang terbuat dari anyaman bambu dengan diberi alas daun pisang.
Sangat menarik sekaligus menggugah selera.




bersambung…..